Senin, 02 Juni 2014

Amir Hamzah


Amir Hamzah (lukisan pena Dede E. Supria). Gambar: Buku "Amir Hamzah Pangeran dari Seberang".
“Raja telah jatuh, rakyat berkuasa! Raja telah jatuh, rakyat berkuasa!”
“Rakyat menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan kaum bangsawan!”
4 Maret 1946, seruan-seruan itu terdengar riuh di Istana Binjai. Kala itu, sekelompok pemuda menyeruak masuk ke halaman istana. Mereka menuntut agar bendera kerajaan yang bersanding dengan bendera merah putih, diturunkan. Lagu “Darah Rakyat” berkumandang. Suara para pemuda itu membahana. Senja koyak.
Tengku Amir Hamzah, Bupati Binjai dari Indonesia yang juga menantu Sultan Langkat sekaligus petinggi negara Langkat, membiarkan barisan “wakil rakyat” merusak ruangan istana kerajaan. Meski terjadi kerusakan, hari itu tidak ada penganiayaan.
Sehari sebelumnya, kerusuhan memang sudah meledak di Langkat. Sejak hari itulah, banyak bangsawan yang ditangkap. Satu per satu dari mereka yang bergelar tengku menghilang. Amir Hamzah pun pada akhirnya dijemput oleh sekelompok pemuda pada 7 Maret 1946, meski versi lain menyebutkan tanggal 4.
“Tinggallah buah hati Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya.
Sedari kecil, Tahura, anak Amir Hamzah satu-satunya ini, memang menerima panggilan ‘Kuyung’ (sulung) dari sang ayah. Amir pun mengecup kening Tahura sebelum masuk ke dalam mobil yang bergerak cepat menuju markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Sejak saat itu, Tengku Amir Hamzah tak pernah kembali.
***
Kilasan kisah di atas terungkap dalam buku Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang karya Nh. Dini. Berbekal ketakzimannya pada sosok Amir, Nh. Dini, yang juga seorang penulis sastra terkenal, menjadi perintis penelitian panjang akan penulisan biografi Amir Hamzah.
Pada 1972, kisah hidup Amir Hamzah yang disusun Nh, Dini ini dipublikasikan dalam bentuk kisah bersambung di majalah Femina. Rangkaian fakta ini kemudian baru dibukukan pada 1981.
Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk merayakan 100 tahun kelahiran seseorang penyair besar, yang jatuh pada 2011, selain merayakannya dengan buku. Karena itu, tiga puluh tahun berjarak waktu dari penerbitan perdananya, biografi setebal 180 halaman ini diterbitkan kembali pada 2011 untuk memperingati satu abad kelahiran Amir Hamzah.
Jika penulisan biografi yang kini membanjiri toko buku kerap ditulis berdasar pesanan sang tokoh sendiri, maka biografi Amir Hamzah ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Banyak biografi di masa kini yang miskin riset. Sebaliknya, Nh. Dini menjelajahi setiap jengkal kehidupan Amir Hamzah dengan berupaya mengakses sebanyak mungkin informasi.
Pengumpulan data demi data oleh Nh. Dini akhirnya memang berbuah karya yang berhasil memotret kisah hidup sang pangeran dari berbagai sudut. Semua data wawancara diramu dengan kemampuan daya papar dan daya ungkap Nh. Dini yang matang. Metafora, analogi, dan diksi yang menjalin fakta-fakta dipadu dalam satu masa lampau yang dramatik. Tak hanya halaman-halaman teks, buku ini pun diperkaya dengan jepretan foto masa silam.
Nh. Dini juga tak segan mengungkap hal-hal paling pribadi dari kehidupan Amir Hamzah yang membuat buku ini menjadi menarik untuk dibaca. Larik-larik sajak karya Amir Hamzah juga turut disisipkan guna kian mengakrabkan sosok bangsawan Melayu asal kawasan Sumatera Timur ini pada pembacanya.
Wajah tampan Tengku Amir Hamzah yang nampak gagah dalam pakaian adat Kesultanan Langkat nampak di sampul depan buku ini. Foto itu diambil pada hari pernikahannya dengan ‘Uyah’, panggilan kesayangan Amir Hamzah untuk istrinya, Tengku Kamaliah. Di samping foto itu, tercetak pula satu sajak Amir Hamzah yang berasal dari kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi.
“Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus”
Masih tentang sajak yang sama, dalam pengantar buku ini, PT. Gaya Favorit Press sebagai penerbit menyatakan bahwa, “Sajak Amir Hamzah tersebut adalah salah satu luapan perasaannya ketika hubungannya dengan kekasih tercinta harus putus di tengah jalan, karena penyair asal Langkat ini dijodohkan dengan putri pamannya.”
Permainan simbol yang terbuka dan multitafsir memang menjadi sifat sebuah karya sastra, utamanya puisi. Namun, interpretasi umum seperti apa yang diungkapkan penerbit di atas, yang kerap menyempitkan pemaknaan sajak-sajak Amir Hamzah hanya pada persoalan putus cinta ini, menjadi titik kritik saya.
Jika Seno Gumira Ajidarma pada halaman belakang buku ini juga menyatakan bahwa sajak-sajak Amir adalah sajak-sajak patah hati, saya justru menemukan sosok Amir yang tak mudah kalah dalam duka patah hatinya. Kegundahan Amir dalam sajak-sajaknya semestinya tak melulu dapat diartikan sebagai ekspresi patah hatinya pada Ilik Sundari. Amir bukan orang cengeng. Meski ekspresi kesedihan serupa itu adalah manusiawi dan umum saja terjadi, namun, pembacaan saya akan sosok Amir Hamzah dalam buku ini membawa saya pada kesimpulan bahwa Amir Hamzah jelaslah bukan sekadar orang yang “umum”.
Nh. Dini bersama Tahura (berkerudung) di makam Tengku Amir Hamzah. Foto: Buku "Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang".
Di antara cinta pribadi dan kepentingan keluarga, adalah sudah menjadi marwah (kehormatan) para bangsawan Melayu sepertinya untuk lebih mementingkan yang kedua. Kehormatan adalah segalanya. Dengan fakta-fakta yang dirangkai secara naratif oleh Nh. Dini, saya semakin mendapati bahwa bangunan karakter kebangsawanan Amir Hamzah terlalu kokoh untuk dapat selalu terlarut dalam romantisme pribadinya.
Memang banyak sekali “gelombang dua berimbang” dalam hidup penyair ini. Banyak sekali suara-suara dua kutub dalam hatinya, yang kerap menjadi tema dasar dari karya-karya lirisnya. Namun, itu tak melulu soal cinta. Ada pula soal pergulatan politik yang tentunya turut menyita ruang pikir tokoh pergerakan ini.
Dalam tulisan terdahulu, saya menyebut Amir Hamzah sebagai “Sang Pangeran Yang Selalu Berada di Tengah”. Namun, setelah membaca buku ini, saya menjadi yakin bahwa Ku Busu (panggilan Amir Hamzah di keluarga) bukanlah peragu. Meski hidup kerap mengantarnya pada sekian banyak persimpangan, dengan sifat seorang bangsawan, ia selalu tahu bagaimana semestinya berposisi dan mengambil sikap.
Nh. Dini memang menuliskan kisah cinta Amir Hamzah yang belum pernah diungkap sebelumnya. Kisah kasih tak sampai antara sang pujangga bangsawan Melayu dan Ilik Sundari, sang dara asal Solo, terpapar lebar. Namun, pada buku yang terbagi dalam tiga belas bab ini, hanya ada dua bab yang secara eksplisit memaparkan kisah-kasih Amir Hamzah dengan Ilik Sundari, yakni pada bab “Masa Indah di AMS” dan “Cinta ‘Terlarang’ Amir dan Ilik Sundari”. Artinya, sudut pandang hubungan cinta romantik ini memang hanya menjadi satu dari sekian banyak sisi yang ingin dihamparkan oleh Nh. Dini.
Buku ini cukup berhasil menampilkan sosok Amir Hamzah selayaknya sebuah prisma kaca yang memiliki sekian banyak dimensi. Kesemua dimensi itu memantulkan cahaya kenangan yang dapat disublim menjadi perenungan bagi siapa pun yang membacanya. Dengan kekuatan deskripsi dan eksplorasi Nh. Dini yang nampak konsisten dari baris-baris pertama buku ini hingga kisah berujung, alur reflektif itu pun menjadi mudah untuk diikuti.
Kejelian paparan Nh. Dini diawali saat menggambarkan Langkat sebagai kesultanan yang tak hanya kaya sumber daya alam, namun juga memiliki harkat budaya.
”Semua ukiran di rumah Melayu berfungsi sebagai hiasan, sekaligus menjadi alat pengalir udara,” demikian gaya Nh. Dini menyatakan detail deskripsi.
Nh. Dini pun tak lupa mengenalkan beragam adat istiadat Melayu seperti tradisi melayah (menutup wajah perempuan hingga hanya tampak kedua matanya saja), makan sirih sekapur, nampan nipah, adat persaudaraan dalam kesatuan rumah Melayu, adat pernikahan, hingga tradisi penamaan anak.
Selain itu, ada pula disinggung beberapa sastra Melayu seperti Syair Bidasari, Dewa Mendu, Hikayat Hang Tuah, takat Hikayat Amir Hamzah yang kala itu masih dibaca dengan huruf Arab gundul; ketika ‘kambing’ dan ‘kembang’ ditulis dengan cara yang sama.
Ketika Nh. Dini memulai kisah Amir Hamzah yang kala itu ingin meninggalkan tanah airnya untuk bersekolah ke luar negeri, Jawa, dimana pada saat yang sama yang lain bersekolah ke negeri-negeri lain, ia kemudian memberi penekanan pada sebuah fakta sederhana, namun sering dilupakan akhir-akhir ini.
“Tanah air pada zaman itu adalah Langkat, adalah pulau Sumatera. Masing-masing daerah belum mempunyai kepentingan bersama. Pada masa itu, orang masih menamakan diri bangsa Batak, bangsa Minangkabau, bangsa Melayu, atau pun bangsa Jawa,” tutur Nh,. Dini yang tampak menyadari betul bahwa wajah keindonesiaan barulah ada sejak 1945.
Nh. Dini pun mengisahkan bahwa setibanya di Jawa, Amir langsung dapat menghirup udara yang lain sama sekali. Semua serba baru, serba misterius, namun sekaligus ramah dan menanti dipaparkan untuk dikenal. Segalanya ia lihat, alami, dan tanggapi, lalu ia cerna baik-baik. Amir pun menabung pengalaman hingga membentuknya sebagai pemuda yang kritis. Ditambah, lingkungan akademis di sekitarnya pun bernapaskan kehendak yang sama. Selanjutnya, Nh. Dini pun membawa pembaca untuk larut dalam romantika pergerakan Amir Hamzah.
Amir memasuki Jawa pada masa ketika kata ‘pemuda’ bersinonim dengan ‘pergerakan’. Di sana, ia turut meniupkan nafas perubahan.Di pulau itulah ia menjadi saksi akan nasib bangsa Jawa yang terjajah. Mata hatinya lebih jelas melihat kekurangan-kekurangan yang seharusnya bisa diubah. Kepekaan hati menyebabkan ia bersifat sosial tanpa perlu mempelajari lebih dulu apa itu sosialisme.
Amir pun kian mendewasa ketika nama Indonesia semakin marak digunakan untuk menggantikan nama Hindia Belanda. Sejarah nama Indonesia yang ‘dibuat’ oleh J.R. Logan di Indian Archipelago, lalu disusul oleh A. Bastian yang mempertanyakan nama Indonesia atau pulau-pulau di Kepulauan Melayu, dan para guru besar dari Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Hurgronje, dan Van Vollenhoven, turut terungkap selintas dalam buku ini. Perkataan ‘Indonesia’ yang semula hanya dikenal dalam kepustakaan etnologi kala itu digambarkan mulai naik sebagai sebentuk identitas kebangsaan.
Amir kemudian turut giat mempropagandakan konsep persatuan, sebuah cita-cita Indonesia Raya yang dianggap mampu mengatasi persoalan kolonialisme yang menimpa Jawa Raya. Ia begitu bersemangat membela nasib bangsa terjajah. Dia menggugat ketidaksamarataan yang disebabkan kurangnya penyebaran pendidikan rakyat.
Bersama kawan-kawannya, Amir menjadi motor penggerak penyatuan pemuda-pemuda Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Sumatera di Solo. Ialah yang turut menganjurkan kawan-kawannya untuk menyadari bahwa pada dasarnya mereka mempunyai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pada aspek bahasa, kiprah Amir pun teramat nyata. Ia mengaktifkan dan menegakkan kembali kepercayaan orang terhadap nilai serta keindahan bahasa Melayu melalui produktivitasnya yang tinggi di bidang sastra.
Pergerakan Amir di Pulau Jawa yang begitu aktif ternyata memancing kekhawatiran pamannya, Sultan Langkat. Dengan lemah lembut, Sultan berusaha mengingatkan Amir bahwa banyak kerajaan kecil yang lebih sukar untuk menyanggah kemauan Belanda. Pada banyak hal, bahkan terlalu banyak, kerajaan Langkat masih sangat tergantung kepada admnistrasi Belanda.
Tanpa perlu sultan bersusah payah meminta Amir untuk mengambil sikap tertentu, Amir langsung memahami apa maksud ucapan itu. Sebagai seorang pangeran kerajaan yang membawa marwah bangsa di dadanya, Amir pun mengucapkan tradisi adat yang lazim pada Sultan, “Sembah patik sembahkan, titah patik junjung.”
Sikap Amir yang kemudian mundur teratur dari pergerakan di Jawa pada 1937 hingga akhirnya  berujung pada kepatuhannya akan titah sang paman untuk menikah dan kembali ke Langkat pun dilakoni dengan kerelaan. Demi ucap janjinya pada kesultanan, ia telan segala kesedihan akibat perpisahannya dengan cita dan cintanya di negeri Jawa.
Catatan Nh. Dini pun menggambarkan peran baru Amir Hamzah sebagai sebaik-baiknya imam bagi keluarganya. Melalui wawancara Nh. Dini dengan Tahura, tergambar betul sosok Amir Hamzah sebagai ayah dan suami yang bertanggung jawab, melindungi, dan penuh kasih sayang sekaligus pula tegas.
Kalau hari petang
Langit terang
Aku terkenang
Binjei Langkat Hulu
Lahir di situ
Demikian dendang buaian sang ayah yang masih teringat jelas oleh Tahura. Tahura juga kerap mendengar dongeng hikayat-hikayat Melayu dikisahkan oleh ayahnya, semisal Hang Tuah, Putera Indra Bangsawan. Sementara, sang ibu lebih memilih cerita rakyat seperti Batu Belah atau Puteri Hijau.
“Kita harus berkelakukan lemah lembut kepada siapa pun,” begitu selalu pesan Amir pada Tahura.
Amir juga mengajarkan Tahura untuk selalu bersikap sederhana dalam segala hal. Semua harus sesuai dengan porsinya. Tahura tidak diperbolehkan menyisakan makanan dalam piringnya dan tidak diperbolehkan pula meminta tambah.
Tahura pun mengenang bagaimana sang ayah pernah menyuruhnya makan es krim dengan ikan sepat goreng sebagai sendoknya. Ia juga selalu ingat bahwa ayahnya selalu mengajarkan ia mandi dengan berdoa.
Pasca-Kelahiran Indonesia
Ketika proklamasi bangsa Indonesia berkumandang, Amir Hamzah, seperti kebanyakan rakyat Sumatera maupun pulau-pulau lainnya, belum mengetahui bahwa Negara Indonesia sudah berdiri. Ketika di Pulau Jawa terjadi kekacauan pada masa-masa peralihan pemerintahan, kehidupan di Langkat hampir tidak berbeda dari hari-hari lain. Sibuknya kepindahan Jepang  yang meninggalkan kota juga luput dari perhatian penduduk.
Sejumlah masyarakat di negeri Langkat. Foto: www.tengkuamirhamzah.com.
Oleh satu dan lain sebab yang tak diketahui atau memang dirahasiakan, gubernur Indonesia yang berwenang membawahi daerah Langkat baru mengumumkan pendirian Indonesia setelah dua bulan pasca-proklamasi. Dua bulan setelah proklamasi, baru Amir  diberitahu adanya surat keputusan Gubernur Negara Republik Indonesia Nomor 5 yang telah menunjuknya sebagai asisten residen atau bupati yang bertanggung jawab atas daerah Langkat dan berkedudukan di Binjai.
Penunjukkan dirinya sebagai bupati membuat Amir berpijak di dua kaki. Di satu sisi, sejak pulang ke Langkat dari negeri Jawa, ia sudah mengemban sejumlah jabatan negara. Ia menjadi Raja Muda atau Pangeran dengan wilayah tugas Langkat Hilir, lalu memimpin Teluk Haru di Pangkalan Brandan, dan kemudian sebagai bendahara Paduka Raja di Binjai. Saat Jepang datang, ia menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat. Di sisi lain, dari Indonesia, ia menjadi Bupati Langkat. Semua jabatan itu memiliki objek wilayah yang sama.
Di masa itu, Amir berusaha memulai pembangunan pertanian, kerajinan rakyat, dan pemberantasan buta huruf. Nh Dini menceritakan bahwa Amir Hamzah begitu bergirah mengerjakan itu semua.
Kehadiran Belanda yang turut bersama sekutu melalui Palang Merah kemudian menimbulkan banyak kekacauan di Jawa. November menjadi bulan penuh api. Hubungan Indonesia-Belanda-Inggris pun kian buruk ketika Belanda mendaratkan Angkatan Laut Kerajaannya di Tanjung Priok dan menguasai Batavia.
Belawan (Medan, Sumatera Utara kini) juga menjadi pintu terbuka bagi Angkatan Laut Sekutu. Kehadiran tentara sekutu pasca 29 September 1945 di bawah pimpinan Jenderal Christison di Medan membuat Langkat mulai bergolak. Golongan demi golongan bertumbuhan mengukuhi pendapat dan idealisme masing-masing. Titik ini menjadi pangkal tolak ketajaman indra politik beberapa orang.
Jika dahulu Amir Hamzah melakukan pergerakan untuk memandang serentak pada konsep persatuan, kini pertimbangan demi kepentingan golongan dan partai mulai merebak. Rakyat Langkat, utamanya buruh-buruh, yang kebanyakan berasal dari India, Jawa, dan China, yang kebanyakan buta politik, pun mulai dipanas-panasi. Mereka digiring untuk menggugat pemerintahan di kota maupun di pedalaman. Konon, yang paling kuat dan terpandai dalam menggalang penduduk semacam itu adalah pihak yang disebut ‘golongan kiri’ yang berpusat di Jawa.
“Tuhan menjadikan manusia tidak semuanya sama. Sebagai contoh, ialah pepohonan di muka bumi ini, ada yang rendah ada yang tinggi, walaupun usianya sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini, berlawananlah dengan kodrat Tuhan,” ujar Amir selaku bupati pada suatu rapat yang diadakan di Kebon Lada.
Akan tetapi, pernyataan Amir ini menimbulkan interpretasi sendiri di banyak pihak. Konon, inilah yang membuat dirinya dimasukkan ke dalam “daftar hitam” kelompok pemuda kala itu. Muncul kasak kusuk bahwa Amir pernah turut makan-makan di kapal dengan sekutu.
“Bagaimana pula dia duduk makan bersama musuh… Di waktu dia terpaksa menyuguhi makan seorang pejabat atau perwira musuh, dia selalu menyuruh masak bangkai-bangkai ayam! Katanya, sayang menyembelih ayam sehat untuk dihidangkan kepada musuh. Ah, tidak akan dia sudi datang ke kapal, lalu duduk makan bersama mereka,” bantah Kamaliah.
Menghadapi segala serangan fitnah, Amir tak pernah sekali pun nampak gentar menghadapi nasib buruk yang mengintainya.
“Hanya satu permintaan kanda kepada dinda, Uyah. Apapun yang terjadi dengan kakanda, janganlah adinda kelak mendendam kepada orang-orang tertentu. Karena semua kejadian adalah takdir Tuhan. Jaga dan asuhlah anak kita sebaik-baiknya,” demikian pesan Amir kepada sang istri.
Dalam tarikan lokal (Langkat) dengan supralokal (Indonesia), buku ini menunjukkan bahwa Amir Hamzah secara ajeg berpijak pada Langkat dengan kesadaran dan keberanian penuh. Amir tak pernah membantah sekali pun sumpah setianya pada raja untuk berpihak pada Langkat.
Kesetiaan Amir ini berujung pada suatu subuh di perladangan Kuala Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan Langkat itu. Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.
“Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang bersiap-siap akan menghadap Tuhan,” begitulah penyair masyhur ini menuturkan kalimat terakhirnya.
20 Maret 1946, parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Langkat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Dan jasad Amir pun ditumpuk dengan jenazah ke-26 tengku lainnya.
.
Kedatangan ajal yang secepat itu membuat Amir tidak dapat melihat bagaimana negara yang dicita-citakannya dahulu kemudian bertumbuh menjadi Republik Indonesia Serikat untuk kemudian berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia juga tak melihat bahwa kemudian ada daerah yang diistimewakan dan ada yang tidak. Hanya 35 tahun Amir Hamzah menjalani hidupnya. Namun, 35 tahun itu ternyata cukup untuk menggaungkan gema juang yang bertalu dalam setiap hati yang mengenangnya.
Cara Nh. Dini mengisahkan Amir Hamzah sebagai tokoh kunci pada sejarah kelahiran Indonesia ini membuat saya mengamini pendapat Ayu Utami, bahwa membaca buku ini bagai menonton sebuah film. Biografi ini sungguhlah dapat menjadi media penutur sejarah tanding.
Namun, pengungkapan fakta sejarah baru mengenai Revolusi Sosial di Maret 1946 hingga saat ini memang masih tampak sumir. Nh. Dini pun menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hingga pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini tidak mau mengakui sebutan nama ‘revolusi sosial’ yang telah merebut nyawa Amir Hamzah kala itu.
Tak pernah digelar peradilan akan peristiwa berdarah itu. Kemenakan Amir hingga kini pun tidak pernah mau menyebutkan nama siapa para pemuda yang sesungguhnya terlibat dalam kematian Amir.
“Barangkali karena memang dia tidak mengetahui. Ataukah karena para pemuda tersebut kemudian menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, sehingga pembongkaran cerita akan menyebabkan mereka tergugat?” demikian tanya Nh. Dini dalam buku ini.
Buku ini adalah pelecut upaya menyigi jawaban atas apa yang masih tak terungkap dalam sejarah bangunan fondasi Indonesia yang kelam. Sejarah ketika keluarga kerajaan menjadi sasaran laskar-laskar yang terprovokasi ideologi antarkelas. Inilah wajah ketika akar-akar tercerabut secara paksa. Suatu kala ketika makna noblesse oblige tak lagi menjadi harapan.
Ketokohan Amir Hamzah ini memang mengikat ingat saya pada frase bahasa Perancis, ‘noblesse oblige’. Dalam pemaknaan etimologisnya, frase itu menyuratkan arti bahwa status sosial yang tinggi akan selalu diiringi oleh kewajiban dengan konsekuensi risiko yang tak kalah tinggi. Sejarah telah mencatat, untuk seorang Tengku Amir Hamzah, bangsawan Melayu dari negeri Langkat, konsekuensi itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia difitnah dan dibunuh hanya karena ia adalah seorang Tengku. Dan ia memilih mati karena itu, betapapun ia punya pilihan untuk pergi ke tempat lain seperti Binjai atau Jepang.
Tengku Amir Hamzah, yang menyadari posisinya sebagai bangsawan, telah sekuat-kuatnya berupaya mengabdikan kekuasaannya untuk berpihak pada yang tak berdaya. Ia meresapi, bahwa dengan berkedudukan lebih tinggi, maka tak ada kewajiban lain selain mengabdi pada nadi negeri. Dalam manifestasinya, Amir pun tampil dengan pilihan-pilihan hidup yang berani, bahkan keji, terhadap dirinya sendiri.
Lesatan zaman kekinian pun kemudian seakan mengajak memutar. Dalam sistem yang dahulu menumbangkan apa yang disebut feodalisme, pola kekuasaan sentralisme Indonesia kini justru semakin seru mendenguskan kembali hasrat-hasrat feodalisme. Jabatan-jabatan elitis kini menjadi rebutan. Bapak pejabat, anak pejabat, lingkarannya pun mendapat rezeki berlimpah. Bahkan, pernikahan pangeran Inggris, Pangeran William dan Kate Middleton pada 29 April 2011, yang jelas-jelas termuat dalam definisi feodalisme, oleh televisi-televisi Jakarta yang bersiaran nasional justru turut dirayakan dengan melakukan siaran langsung seharian dan juga pada hari-hari berikutnya. Ada program khusus yang bahkan dibuat hanya untuk memelototi detail busana sang pengantin.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis PaEni, pernah mengatakan bahwa ada kekecewaan yang teramat besar di negara Indonesia kini. Jika dahulu feodalisme dikecam, wajah Indonesia kini justru menampilkan wajah tersebut.
“Setelah menjadi satu negara, mereka menjadi kecewa, kecewa menjadi supernasionalis, kecewa menjadi seorang yang menyerahkan mentah-mentah identitas lokalnya itu kepada negara ini. Apa yang membuat mereka kecewa? Ternyata feodalisme, kebangsawanan, kebarat-baratan, bukan pada gelar, bukan pada harta, tetapi pada perangai orang per orang. Begitu dia (orang lain) menjadi pejabat di negara republik ini, dia lebih feodal,” tukas PaEni sebagaimana tertulis di LenteraTimur.com (6/6).
Cekokan kisah yang menyimpan propaganda tertentu atas nafsu kekuasaan secara diam-diam kerap menjebak kita pada lubang yang sama. Kegelisahan Amir Hamzah akan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu ternyata kini masih kita rasakan jua. Di tengah bisingnya kabar-kabar ketidakadilan yang menjadi santapan setiap hari, pembacaan kembali atas sosoknya dalam biografi ini kiranya dapat menjadi semacam “Buah Rindu” akan “Nyanyi Sunyi” sang pangeran, Tuanku Tengku Amir Hamzah.
Ku Busu yang Bukan Peragu, 4.7 out of 5 based on 3 ratings

Tidak ada komentar:

Posting Komentar