Senin, 02 Juni 2014

REVOLUSI SOSIAL DI SUMATERA TIMUR


REVOLUSI SOSIAL DI SUMATERA TIMUR (1)

Revolusi sosial ini bermula pada 3Maret/Mach 1946 malam di Brastagi, dengan PKI, Pesindo dan PNI yang mayoritas orang Jawa menangkap 17 Raja Urung dan Sibayak serta mengasingkan mereka keAceh Tengah. Raja Panai serta keluarganya juga ditangkap dan dijarah hartanya,Bangsawan serta Datok Tumenggung di Penggal Kepalanya.
Raja Raya dibunuh,disembelih di jembatan besar. Raja Purba dan Raja Silimakuta dilindungi TKR(Tentara Keamanan Rakyat), tapi rumah dan ahli keluarganya tak lepas darihajaran PKI dan Pesindo, semua di bunuh, ada yang di bakar hidup-hidup dan adayang di Penggal kepalanya . 
Sultan Sya’ibun Abdul Jalil Rahmat Syah bin Muhammad Husin II. Beliau satu satunya Keturunan Sultan Asahan yang selamat dari Revolusi Sosial, Sultan Su’ibun selamat dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Republik Indonesia di Pematang Siantar. Beliau mangkat 17 April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Masjid Raya Tanjung Balai.
Begitu juga nasib Kesultanan Melayu Asahan.Semua ahli keluarga dan harta benda Kesultanan Melayu Asahan dibunuh, dipenggal dan ditikam di luar istana. Sultan Asahan berjaya selamat, beliauberlindung pada sebuah pos tentara Jepang/Jepun. Ahli laskar PersatoeanPerdjoeangan (PP), yang ditubuhkan oleh Tan Malaka, dan Persatuan Ulama SeluruhAceh (PUSA) menyerang istana Sultan Melayu Deli, Istana di tembak, tapi Sultanberjaya selamat. Mereka mengambil alih ladang minyak dan kebun karet/getah.Tapi Inggris melancarkan serangan dan memporak porandakan pendukung republik.
Lima kedatukan Melayu Labuan Batu jugadiserang. Sultan Kualuh hilang, mungkin beliau di seksa dan di bunuh lepas tujasadnya dibuang ke sungai. Tengku Hasnan, Tengku Long, serta seluruhkeluarganya dipenggal kepalanya. 
Istana Sultan Melayu Deli dilindungi olehpasukan Inggris, sehingga banyak ahli keluarga sultan selamat, tapi Bangsawan,datuk, wan dan warga Melayu deli di luar istana Banyak di Bunuh. Sultan MelayuSerdang dan Kerapatan Istana lain hanya ditahan di istananya di Perbaungandalam keadaan baik. Karena Sultan Serdang dipandang lebih berpihak padaRepublik sejak awalnya, sehingga banyak orang yang melindungi dan menjagaIstananya.
 
Pangeran Tengku Kamil, Ahli Keluarga Kesultanan Langkat.
Beliau wafat setelah di tebas parang kepalanya
Sementara itu, Sultan Melayu Langkat tidakmeminta perlindungan Sekutu maupun Jepang/Jepun karena ada jaminan dari dr. M.Amir Syarifuddin, Wakil Gubernur Sumatera Utara. tapi, ternyata pasukan Pesindomenangkapi 21 orang ahli istana, termasuk Tengku Amir Hamzah, Pahlawan danPujangga Negara. Istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura maupun yang dikota Binjai diserbu dan dirompak, Bangsawan-bangsawan Langkat ditangkap dansebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah,puteri-puteri Sultan Langkat diperkosa.dirogol dan yang lebih memilukan lagiperkosaan/perogolan di depan mata ayahanda , sang Sultan Langkat, dan putramahkota yang masih belia hilang tak tau rimbanya hingga kini, ini dilakukanoleh Marwan dan kawan-kawannya, mereka dari PKI. hampir seluruh Tengku, Datuk,Wan dan semua ahli Istana mati di bunuh.. Kesultanan Melayu Langkat yang palingbanyak mati di bunuh PKI dan Pesindo.
Revolusi Sosial di kesultanan Langkat 9 maret 1946

Laskar kesultanan Langkat
ISTANA SULTAN MELAYU LANGKAT DI TANJUNGPURA LANGKAT – SUMATERA UTARA. Istana ini dibakar pada Revolusi Sosial pada Maret 1946. Tampak Keramaian dalam perayaan dimasa kesultanan. Orang-Orang Besar Istana, Pengawal dan Masyarakat memenuhi halaman istana. Tampak Payung-payung tanda kebesaran

Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya.
Begitu juga raja raja Simalungun, Mandailing dan Tanah Karo. Bahkan yang lebih ganas lagi pembantaian di Simalungun. Pembunuhan terhadap kaum bangsawan terjadi secara massal, ada juga yang di benamkan di Laut, kepalanya dipotong,
di kubur hidup-hidup dan berbagai pembunuhan sadis lainnya, di lakukan oleh massa dari PKI. Bahkan ada juga kaum
melayu bukan bangsawan mati dibantai. yang paling mengerikan pembantaian Raja-raja Simalungun Oleh Barisan
Harimau Liar (BHL).
Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya raja Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari
penculikan BHL (Barisan Harimau Liar) dan mereka tinggal di Pematangsiantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan
Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya raja muda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh
BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan
dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL. Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga
masih banyak korban revolusi sosial di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.
Istana Kesultanan Asahan
Revolusi sosial menghasilkan begitu banyak pembunuhan, pembantaian, dan kekacauan. Seorang menteri dari kalangan
republikan yang tak punya portofolio dan wakil gubernur Sumatera, yang berasal dari luar Sumatera, justru bertindak
sebagai promotor. Selama terjadinya revolusi sosial, ratusan orang-orang penting dan intelektual Sumatra Timur dibantai
dengan cara mengerikan. Kekacauan dan penjarahan meledak. Ratusan pribumi ditangkap dan dijebloskan di kamp-kamp,
betapapun selama lebih dari satu tahun penyelidikan yuridis telah membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Sebuah
dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial ’46 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang
di Asahan. Belum lagi terhitung di daerah lainnya.
Pribumi mulai menyaksikan banyak penduduk hidup dalam kemiskinan dan menderita kelaparan justru di wilayah yang
begitu kaya. Itulah mengapa orang Sumatera Timur, sesuai dengan prinsip dan kesadaran, sebagaimana yang ditetapkan
dalam perjanjian Linggarjati, menginginkan kemerdekaan.
Kondisi kaum masyarakat Melayu,Karo dan Simalungun yang mengenaskan, kecemasan orang-orang China dan India,
serta orang-orang Indonesia yang kelaparan dan merasa kecewa akibat Republik, sentimen negatif kepada orang Jawa,
Ambon, Aceh dan Batak Toba mulai banyak terlihat. Mulailah mereka membenci kaum pendatang atau disebut orang luar,
dan dimulailah pembentukan Negara Tandingan, Negara yang lepas dari Jawa dan Batak (Tapanuli) , terbentuklah Negara
Sumatera Timur.
Tidak berapa lama setelah pergantian Kapten Tengku Nurdin, penggantinya yang baru di Batalion III , menangkap semua
kaum bangsawan Melayu di beberapa daerah termasuk perempuan dan anak-anak ditangkap dan dibawa ke perkampungan (Concentration camp) di Simalungun dan Tanah Karo.
Kaum non-pribumi pun tak lepas dari pembantaian, China dan India banyak menjadi korban keganasan Revolusi Sosial.
Kaum bangsawan dinista dan dicacimaki sebagai orang bodoh dan pemalas serta berada di dalam kemiskinan dan tidak
mendapat bantuan Negara dan di negerinya sendiri.
Dua generasi orang Melayu hampir kehilangan identitas mereka. Mereka takut mengaku Melayu, takut memakai baju
teluk belanga dan menambah gelar marga Batak di depan namanya supaya boleh masuk sekolah atau diterima di kantor
pemerintahan. Mereka menghilangkan gelar Tengku, Wan, OK dan Datuk karena takut dicaci sebagai feodal,
bahkan kaum Melayu yang bukan bangsawan tetapi bekerja dengan para Sultan dan Tengku pun tak luput.
Banyak dari mereka pergi hijrah ke Semenanjung Malaya, terutama di Kedah dan Perak karena masih erat hubungan
kekerabatan. sebagian pergi ke Belanda.
Amir Syarifuddin langsung dikirim ke Medan untuk secepatnya mempelajari laporan dan mengatasi keadaan mendesak
agar tidak menimbulkan citra buruk terhadap eksistensi Indonesia secara nasional. Pimpinan TKR, Ahmad Tahir,
mengambil alih pemerintahan untuk mengatasi suasana. Namun, ratusan “Tengku” telah terlanjur tinggal nama
di Sumatera Timur, mati terpenggal dan hangus terbakar.
Kontroversi : kalau kita baca di buku buku sejarah maupun wikipedia, tentunya kita baca kalau penyebab revolusi sosial
di akibatkan oleh Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum
feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Betul kah ?? mungkin ada betulnya,
karna siapa sih yang gak mau kekuasaan ?? tapi ada juga tidak betulnya… kalau di tanya kepada masyarakat melayu
di pesisir timur sumatera utara, mereka menjawab ;
“Tiadalah sultan berbuat silap, daulat sultan mempertahankan kedaulatan melayu , dan itu memanglah lah tugasnya, begitu
juga raja-raja (sumatera timur) lainnya, tapi tak semua kaum yang berakyat di negerinya adalah rakyatnya, adakah daulat
melayu tampak sekarang ??”
bersambung...

Masjid Azizi tanjung pura

Bangunan anggun, kokoh dan berwibawa di tepi jalan lintas Sumatra Medan – Brandan membuatku tertarik untuk berhenti dan mengunjunginya. Di halaman depan terdapat papan yang menyatakan bahwa bangunan ini diresmikan pada tahun 1902. Tuanya umur bangunan tersebut membuat saya semakin penasaran. Bangunan tersebut adalah Masjid Azizi di Kota Tanjungpura, Langkat Sumatra Utara.
masjid-azizi-langkat (1)
Masjid Azizi dibangun oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tahun 1900-an dan selesai pada Juni 1902. Itulah sebabnya masjid ini diberinama Masjid Azizi. Arsitek masjid ini adalah seorang Jerman dan pekerjanya adalah orang-orang Cina dan penduduk setempat. Arsitektur masjid merupakan gabungan dari masjid di Turki dan India. Sedangkan keramik dinding dan lantai jelas bercorak Cina dan Eropa. Lampu gantung berwarna perak (dulu berwarna kuning karena terbuat dari kuningan dan kemudian disepuh perak) berasal dari Negeri Belanda.
masjid-azizi-langkat (2)
masjid-azizi-langkat (3)
masjid-azizi-langkat (4)
masjid-azizi-langkat (5)
masjid-azizi-langkat (6)
masjid-azizi-langkat (7)
masjid-azizi-langkat (8)
masjid-azizi-langkat (9)
masjid-azizi-langkat (10)
Halaman masjid sangat bersih. Bangunan masjid masih terawat baik, meski belum pernah ada renovasi sejak didirikan tahun 1900-an. Di belakang masjid terdapat bangunan yang sekarang difungsikan sebagai madrasah dan Institute Agama Islam. Lebih ke dalam terdapat sebuah fondasi tanpa bangunan. Saya menduga fondasi tersebut adalah bangunan kerajaan yang ikut terbakar saat revolusi sosial Sumatra Timur tahun 1946.
masjid-azizi-langkat (11)
masjid-azizi-langkat (12)
Menara masjid berdiri di samping kanan depan. Menara ini bertinggi 35 meter dengan dua lantai menara. Dahulu kala, sebelum ada loudspeaker, muazin harus naik ke atas menara untuk mengumandangkan adzan. Kini, di atas menara telah terpasang loudspeaker merek Toa. Saya berkesempatan untuk menaiki menara ini melalui tangga putar yang berada di dalam menara. Untuk mencapai lantai pertama saya tidak mengalami masalah, sebab bangunan menara masih cukup lebar. Namun saat menuju ke lantai puncak, saya sedikit pening karena bangunan menara menyempit, sehingga hampir tidak ada jarak antara tangga putar dengan dinding.
masjid-azizi-langkat (13)
masjid-azizi-langkat (14)
masjid-azizi-langkat (15)
Di sisi kanan dan belakang masjid dijadikan makam. Ada makam raja-raja dan keturunannya, ada pula makam umum penduduk setempat. Salah satu makam yang bersemayam di sana adalah makam Pahlawan Nasional sekaligus penyair handal Indonesia yaitu Tengku Amir Hamzah.Siapapun yang belajar tentang Poedjangga Baroe pasti mengenal Amir Hamzah.  Tengku Amir Hamzah terbunuh dalam kerusuhan Revolusi Sosial Sumatra Timur. Beliau wafat di kebun lada di Binjai. Pada nisannya tertulis beberapa puisi karyanya.
masjid-azizi-langkat (16)
masjid-azizi-langkat (17)
masjid-azizi-langkat (18)
Di sebelah kanan agak ke belakang terdapat gedung yang digunakan sebagai perpustakaan dengan nama “Balai Pustaka Tengku Amir Hamzah’. Sayang sekali perpustakaan ini tutup sehingga saya tidak bisa masuk ke dalam. Dari kaca jendela saya  melihat beberapa buku terbitan baru. Tidak banyak buku peninggalan Amir Hamzah yang terlihat. Apakah buku-buku Amir Hamzah ikut terbakar saat kerusuhan revolusi sosial tahun 1946, atau tersimpan di dalam gedung tersebut, saya tidak tahu.
masjid-azizi-langkat (19)
Masjid masih berfungsi untuk beribadah bagi umat Muslim di sekitarnya. Masjid ini juga banyak dikunjungi para peziarah dari kota-kota lain di Indonesia, bahkan dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand (Provinsi Patani), khususnya saat Festival Azizi dilaksanakan untuk memeringati wafatnya Tuan Guru Besilam Babussalam Syeikh Abdul Wahab Rokan, yang dikenal sebagai ulama penyebar Tariqat Naqsabandiah.
masjid-azizi-langkat (20)
Meski Masjid Azizi adalah tempat ibadat umat Islam, namun masjid ini membawa pesan plural baik dari arsitekturnya, perancang maupun pekerjanya.

Syeikh Abdul Wahab Rokan dan Tarikat Naksyabandiah

Syeikh Abdul Wahab Rokan dan Tarikat Naksyabandiah



Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera.
Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan.
Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu.
Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan.
Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai’ah dan pemberian silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar Al Khalidi Naqsyabandi.
Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi basis pengembangan tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari — dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di kampung yang dipimpinnya.
Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Silaturahmi di Negeri Seribuk Suluk
Para zurriyat, khalifah dan jamaah Babussalam terserak di dalam maupun luar negeri. Akibatnya silaturahmi menjadi longgar. Demi mengikat silahturahmi Ikatan Keluarga Babussalam Langkat menyelenggarakan silaturrahmi nasional (silatnas).
Berlangsung mulai 18 hingga 20 Oktober mendatang, silatnas diadakan di kampung kelahiran Syekh Abd Wahab Rokan, di Rantau Binuang Sakti yang dijuluki ‘Negeri Seribu Suluk’. Acaranya selain tabliqh akbar, haflah Alquran, juga istighasah Tareqat Naqsyabandiyah. Di hari terakhir (20/10), silatnas ditutup dengan ziarah ke makam ibu dan Syekh Abd Wahad dan ke makan Syekh Zainuddin. Kemudian diikuti ramah tamah sekitar seribu peserta silatnas.

Melayu kaya



MELAYU KAYA

Sultan2 Melayu di Sumatra Timur memang terkenal sangat kaya raya.. lebih kaya dari Sultan2 dari Tanah Melayu.







TRAGEDI 12 MALAM 3 MARCH 1946

Akibat "Ketuanan Rakyat" dan laungan "Daulat Tuanku" diganti dengan "Daulat Rakyat"...

kerajaan2 ini runtuh..
kerabat2nya dirajanya semua dibunuh..
dan rakyatnya juga dibunuh..
sehingga tiada ganti dan tinggalan walau sepuing kemegahan

Pada malam itu jugak.. 5 buah kerajaan Kesultanan Melayu di Sumatra dihapuskan :



- Kerajaan Langkat
- Kerajaan Kota Bahran
- Kerajaan Asahan
- Kerajaan Serdang
- Kerajaan Deli

KETUANAN RAKYAT YANG BODOH

Dasar relocation Sukarno, yang membawa PENDATANG jawa dan batak ke Sumatra.. mengundang bencana.

PENDATANG2 ini.. diberi kerja di ladang2 dan perusahaan2 Sultan2 Melayu dan kaum kerabatnya... PENDATANG2 ni jugak miskin dari penduduk melayu asal di Sumatra Timur

Akibat dari fitnah, dan propaganda dari Parti Komunis Indonesia yang melaungkan = "Daulat Rakyat" bagi menggantikan "Daulat Tuanku".. mereka memberontak.

Raja2 Melayu difitnah bersekongkol dengan Belanda.. dan difitnah mereka suka menindas rakyat.. memeras ugut harta rakyat, cukai dan sebagainya

Perkara ini mendapat sambutan dari PENDATANG2 tersebut.. ade jugak orang tempatan terpedaya

PENGHAPUSAN ETNIK

ini adalah antara rekod2 yang dinukilkan semasa pembunuhan dan penjarahan oleh kaum2 PENDATANG di Istana2 Sultan Melayu di Sumatra :

Kerajaan Bilah
Sultan Bidar Alam Syah IV dibunuh dengan dipenggal kepalanya.. istananya dirompak dan dibakar

Kerajaan Panai
Kerajaan Mahmud Aman Gagar Alam Syah dibunuh satu keluarga.

Kerajaan Labuhan Batu
YDP Tengku Al Haji Muhammad Syah dan keluarganya dibunuh.

Kerajaan Serdang dan Kerajaan Deli
Sultan2 dibunuh.. tapi istananya selamat kerana didiami pegawai pemerintah.

Kerajaan Langkat
Istananya dibakar dan dirompak, SEMUA kerabat sultan Langkat dibunuh dengan dibakar hidup2.. termasuk Tengku Amir Hamzah

Lebih kejam..
Puteri2 Sultan Langkat di rogol dan di gangbang di hadapan Sultan Langkat sendiri sebelum dibunuh.

GANGBANG!!!

Kerajaan Asahan

Kesemua kerabat lelaki Tengku Musa dan anaknya dibunuh kejam. 140 orang yang memakai gelaran "Raja", "Tengku", "Wan" semuanya dibunuh.

Kerabat2.. pembesar2 negeri dan rakyat2 yang bersimpati semuanya dibawa ke Kem Tahanan di Tanah Karo negeri batak untuk disiksa, dirogol dan dibunuh.

SEMUA KEKEJAMAN INI DILAKUKAN OLEH KAUM PENDATANG YANG MELAUNGKAN 'KETUANAN RAKYAT'

SEJARAH MUNGKIN BERULANG

Perkara ini berulang.. korang tengok je orang2 yang melaung2 "ketuanan Rakyat" sekarang, yang didukung oleh keturunan PENDATANG.... that's exactly ape yang jadik kt Sumatra 70 tahun dulu..TAK JAUH BEZA...bukan ratusan tahun dulu...tapi baru 70 tahun dulu

Aku x tipu.. history speaks.. korang nilaikan laa sendiri dari tinggalan2 kemegahan Sultan2 Melayu yang dah berjaya dihapuskan oleh KETURUNAN PENDATANG kt Indonesia ni :

Istana Kota Bahran.. sebelum penghapusan etnik Melayu :



Tinggalan selepas rusuhan "ketuanan Rakyat".. setelah habis harta bendanya dirompak oleh kaum pendatang.. istana ini diletupkan dan dibakar kerana benci dan cemburunya kaum pendatang..







ISTANA TANJUNG PURA.. Istana yang paling indah :







Istana Bedagai Rantau Panjang Kerajaan Serdang :




Istana Puri Kerajaan Melayu Medan




Dan lain2 istana2, masjid2 dan rumah2 peninggalan raja2 Melayu yang dibakar dan dihapuskan bukti peninggalannya oleh pejuang ketuanan rakyat :





............ dan.. itulah hasilnya perjuangan 'ketuanan rakyat' yang bodoh itu



Revolusi Sosial Sumatera Timur

Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap pemerintah kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Mac 1946. Revolusi ini dimulakan oleh gerakan komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti feudalisme. Revolusi melibatkan gerakan rakyat (ketuanan Rakyat) yang berakhir dengan pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan tempatan pentadbiran Republik Indonesia.

Diorama Peristiwa Revolusi Sosial Di Langkat (9 Mac 1946)

sejarah kerajaan langkat




Inilah kisah nyata bagaimana keluargaku dibunuh, kerajaan dibumihanguskan, membacanya benar-benar membuatku terdiam. ternyata ada juga yang tau tentang kisah nyata ini. sadarlah, kalian sudah difitnah, melayu tidak begitu. Apa yang kalian rasakan jika kakek nenek buyutmu disiksa dengan begitu tidak manusiawi? aku tau cerita ini sejak aku masih kecil dari orang tuaku. kubagikan disini agar kalian tau bagaimana sejarah yang sesungguhnya. 


Masa Kegelapan Budaya Melayu


Istana TGPura
Pada tahun 1946 keadaan suhu politik di Sumatra timur memanas, orang-orang Komunis mulai menguasai partai politik dan juga membentuk laskar bersenjata diantaranya Laskar Buruh atau PKI.
Wakil Gubernur, Menteri Amir Syarifuddin (salah seorang eksponen Komunis) tiba di Serdang dari Jawa dan menghasut partai dan laskar rakyat kenapa membiarkan feodal Sultan dan bangsawan Serdang di istananya, hal ini mudah di lakukannya karena ia seorang penulis dan menjadi redaktur di majalah Pemoeda Soematra.
Secara sembunyi kaum komunis mempersiapkan rencana untuk menghapuskan monarki kerajaan Melayu dan ingin mengambil alih pemerintahan kerajaan. Mereka kemudian membuat propaganda di koran-koran, radio dan pamflet serta isu-isu fitnah palsu untuk menghasut rakyat, isu bahwa Raja-Raja Melayu itu sudah bekerjasama dengan Belanda dan mereka adalah kaum Feodal yang memeras dan menindas rakyat.
Dengan akal jahatnya PKI berhasil memindahkan Kapten Tengku Nurdin dari Batalion III naik pangkat menjadi Komandan Resimen di Tanah Karo dengan pangkat Mayor.
6 Februari Gubemur Mr. T. Moh. Hassan, beserta rombongan yang diangkut dengan 7 mobil, berangkat dari Medan lewat Brastagi dan Sumatra Tengah menuju Sumatra Selatan, hingga tanggal 22 Maret kembali berada di Medan.
Ketika Gubernur Mr. T. Moh. Hassan pergi tur, Dr. Moh. Amir tetap tinggal di Medan sebagai pejabat Gubemur.
Saat itulah tragedi terjadi……..
3 Maret 1946, tepat jam 12 malam secara serentak massa yang kebanyakan rakyat pendatang dipimpin oleh orang-orang komunis kiri PKI mengajak serta PNI, Pesindo, serta massa menyerbu istana dan kantor kerajaan Melayu dan mengumumkan bahwa kerajaan Melayu telah dihapuskan oleh rakyat Indonesia.
Pembunuhan terhadap kaum bangsawan terjadi secara massal ada juga yang di benamkan di Laut, kepalanya dipotong, di kubur hidup-hidup dan berbagai pembunuhan sadis lainnya, di lakukan oleh massa dari PKI.
Penyerbuan massal itu tragedi buat Sultan Bidar Alam Syah IV di Bilah, Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah di Panai dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah di Kota Pinang, kesultanan Serdang Asahan di Tanjung Balai, Kesultanan Deli di Medan, kerajaan Melayu Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah di Labuhan Batu seperti Kualuh dan Kota Pinang, di Labuhan Batu.
Di tempat lain, istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura maupun yang di kota Binjei diserbu dan dirampok, Bangsawan-bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah, puteri-puteri Sultan Langkat diperkosa dan yang lebih memilukan lagi perkosaan di depan mata beliau Sultan Langkat, dan putra mahkota yang masih belia hilang tak tau rimbanya hingga kini, ini dilakukan oleh Marwan dan antek2nya, mereka dari PKi.
Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya.
Tidak berapa lama setelah pergantian Kapten Tengku Nurdin, penggantinya yang baru di Batalion III , menangkap semua kaum bangsawan Melayu di beberapa daerah termasuk perempuan dan anak-anak ditangkap dan dibawa ke perkampungan (Concentration camp) di Simalungun dan Tanah Karo.
Kaum bangsawan dinista dan dicacimaki sebagai orang bodoh dan pemalas serta berada di dalam kemiskinan dan tidak mendapat bantuan Negara dan di negerinya sendiri dianggap sebagai second class citizens.
Dua generasi orang Melayu hampir kehilangan identitas mereka. Mereka takut mengaku Melayu, takut memakai baju teluk belanga dan menambah gelar marga Batak di depan namanya supaya boleh masuk sekolah atau diterima di kantor pemerintahan. Mereka menghilangkan gelar Tengku atau Wan karena takut dicaci sebagai feodal.
Zaman ini adalah masa kegelapan buat adat-budaya Melayu.
Hingga akhirnya tiba juga……….
Pada 30 September 1965 terjadilah kudeta (coup d‘etat) PKI yang segera dihancurkan oleh Angkatan Bersenjata RI pimpinan Jenderal Suharto. Sebahagian besar eksponen PKI di Sumatera Timur yang di tahun 1946 membunuh dan merampok kaum bangsawan Melayu ditangkap dan dibunuh rakyat.
Kemudian pada tahun 1971 di Medan……..
Para Pemuka masyarakat Melayu di Sumatera Timur dilindungi oleh Panglima Komando Wilayah Sumatera, Letnan Jendral Ahmad Tahir yang juga mengumpulkan dan menyatukan sebanyak 17 organisasi massa Melayu dan membentuk payung organisasi bernama MAJELIS ADAT BUDAYA MELAYU INDONESIA (MABMI) .
Sampai sekarang adat budaya melayu masih banyak yang hilang karena pernah terputusnya di dua generasi pada masa revolusi sosial dan setelahnya, walau sekarang sudah ada yang berusaha menggali tapi itu belum cukup tampa bantuan dari orang orang Melayu di seluruh penjuru duni

Masjid azizi langkat sumut indonesia

Masjid Azizi, Langkat Sumut

Masjid Azizi pada tahun 1921
Masjid Azizi adalah masjid peninggalan Kesultanan Langkat yang berada di kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang merupakan ibukota kesultanan Langkat di masa lalu. Masjid ini terletak di tepi jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Medan dengan Banda Aceh.
Mulai dibangun oleh Sultan Langkat Haji Musa pada tahun 1899, selesai dan diresmikan oleh putra beliau, Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tanggal 13 Juni 1902M. Keindahan Masjid Azizi ini kemudian dijadikan rujukan pembangunan Masjid Zahir di Kedah, Malaysia, hingga kedua masjid tersebut memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi, Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesari dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7. Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.
Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dan peringatan perubahan Kerajaan menjadi kesultanan Langkat pada tanggal 12 Rabiul Awal 1320H (13 Juni 1902 M) menghabiskan dana sekitar 200,000 Ringgit, dan dinamai masjid Azizi sesuai dengan nama Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah.
Masjid Azizi bercorak campuran Timur Tengah dan India dengan banyak kubah dengan daya tampung sekitar 2000 jemaah sekaligus. Bangunan induk berukuran 25 × 25 m dan tinggi ± 30 m. Ketiga sisi Masjid dilengkapi dengan serambi masing masing di sisi timur, utara dan selatan, masing masing serambi ini berhubungan langsung dengan koridor di tiga sisi masjid dan langsung menuju ke pintu masuk. Tiang serambi yang berdiri di sisi kiri dan kanannya berbentuk persegi delapan mirip menara dalam ukuran kecil dengan bagian ujungnya berbentuk kuncup bunga. Serambi dan teras masjid dilengkapi dengan pilar pilar dan lengkungan khas timur tengah dihias dengan kaligrafi, bentuk bentuk geometris dan ukiran floral. Ruang utama masjid dindingnya empat persegi panjang berukuran 20 × 20 m. Lantai ruang utama tadinya berlapis keramik tapi kini diganti dengan marmer, sisanya lantai keramiknya masih dapat dilihat di bagian tengah lantai ruang utama. Bagian dinding luar ruang utama dihiasi dengan kaligrafi al-Qur’an, hiasan geometris, dan floraral. Dinding bagian dalam ruang utama penuh dengan hiasan, sisi bawahnya dilapisi marmer, sedangkan sisi atasnya dihiasi kaligrafi al-Qur’an, bentuk geometris dan floral. Mihrab dan mimbar masjid Azizi terbuat dari marmer. Menara masjid terletak di timur laut masjid dengan tinggi sekitar 60 meter. Bagian bawah menara dilengkapi sebuah pintu. Bagian kedua dihiasi dengan sebuah jendela lengkung pada setiap sisinya. Bagian atapnya berbentuk kubah dengan bulan di puncaknya. Secara keseluruhan arsitektural masjid Azizi ini memiliki beberapa kemiripan dengan masjid raya Al Mashun dan masjid Al Osmani di Medan, terutama pada rancang bangun kubahnya yang khas. Setiap tahunnya diadakan Festival Azizi di masjid ini. Kegiatannya beragam, mulai dari lomba barzanzi, azan, marhaban, dan baca puisi. Festival tersebut diselenggarakan untuk memperingati wafatnya Tuan Guru Besilam Babussalam Syeikh Abdul Wahab Rokan, yang dikenal sebagai ulama penyebar Tariqat Naqsabandiah. Pengikutnya menyebar hingga ke Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, dan negara-negara Asia Tenggara. Festival bernuansa Islami itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Masjid Azizi dan sejarahnya. Hanya karena bertempat di Masjid Azizi, maka disebut Festival Azizi.

Amir Hamzah


Amir Hamzah (lukisan pena Dede E. Supria). Gambar: Buku "Amir Hamzah Pangeran dari Seberang".
“Raja telah jatuh, rakyat berkuasa! Raja telah jatuh, rakyat berkuasa!”
“Rakyat menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan kaum bangsawan!”
4 Maret 1946, seruan-seruan itu terdengar riuh di Istana Binjai. Kala itu, sekelompok pemuda menyeruak masuk ke halaman istana. Mereka menuntut agar bendera kerajaan yang bersanding dengan bendera merah putih, diturunkan. Lagu “Darah Rakyat” berkumandang. Suara para pemuda itu membahana. Senja koyak.
Tengku Amir Hamzah, Bupati Binjai dari Indonesia yang juga menantu Sultan Langkat sekaligus petinggi negara Langkat, membiarkan barisan “wakil rakyat” merusak ruangan istana kerajaan. Meski terjadi kerusakan, hari itu tidak ada penganiayaan.
Sehari sebelumnya, kerusuhan memang sudah meledak di Langkat. Sejak hari itulah, banyak bangsawan yang ditangkap. Satu per satu dari mereka yang bergelar tengku menghilang. Amir Hamzah pun pada akhirnya dijemput oleh sekelompok pemuda pada 7 Maret 1946, meski versi lain menyebutkan tanggal 4.
“Tinggallah buah hati Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya.
Sedari kecil, Tahura, anak Amir Hamzah satu-satunya ini, memang menerima panggilan ‘Kuyung’ (sulung) dari sang ayah. Amir pun mengecup kening Tahura sebelum masuk ke dalam mobil yang bergerak cepat menuju markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Sejak saat itu, Tengku Amir Hamzah tak pernah kembali.
***
Kilasan kisah di atas terungkap dalam buku Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang karya Nh. Dini. Berbekal ketakzimannya pada sosok Amir, Nh. Dini, yang juga seorang penulis sastra terkenal, menjadi perintis penelitian panjang akan penulisan biografi Amir Hamzah.
Pada 1972, kisah hidup Amir Hamzah yang disusun Nh, Dini ini dipublikasikan dalam bentuk kisah bersambung di majalah Femina. Rangkaian fakta ini kemudian baru dibukukan pada 1981.
Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk merayakan 100 tahun kelahiran seseorang penyair besar, yang jatuh pada 2011, selain merayakannya dengan buku. Karena itu, tiga puluh tahun berjarak waktu dari penerbitan perdananya, biografi setebal 180 halaman ini diterbitkan kembali pada 2011 untuk memperingati satu abad kelahiran Amir Hamzah.
Jika penulisan biografi yang kini membanjiri toko buku kerap ditulis berdasar pesanan sang tokoh sendiri, maka biografi Amir Hamzah ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Banyak biografi di masa kini yang miskin riset. Sebaliknya, Nh. Dini menjelajahi setiap jengkal kehidupan Amir Hamzah dengan berupaya mengakses sebanyak mungkin informasi.
Pengumpulan data demi data oleh Nh. Dini akhirnya memang berbuah karya yang berhasil memotret kisah hidup sang pangeran dari berbagai sudut. Semua data wawancara diramu dengan kemampuan daya papar dan daya ungkap Nh. Dini yang matang. Metafora, analogi, dan diksi yang menjalin fakta-fakta dipadu dalam satu masa lampau yang dramatik. Tak hanya halaman-halaman teks, buku ini pun diperkaya dengan jepretan foto masa silam.
Nh. Dini juga tak segan mengungkap hal-hal paling pribadi dari kehidupan Amir Hamzah yang membuat buku ini menjadi menarik untuk dibaca. Larik-larik sajak karya Amir Hamzah juga turut disisipkan guna kian mengakrabkan sosok bangsawan Melayu asal kawasan Sumatera Timur ini pada pembacanya.
Wajah tampan Tengku Amir Hamzah yang nampak gagah dalam pakaian adat Kesultanan Langkat nampak di sampul depan buku ini. Foto itu diambil pada hari pernikahannya dengan ‘Uyah’, panggilan kesayangan Amir Hamzah untuk istrinya, Tengku Kamaliah. Di samping foto itu, tercetak pula satu sajak Amir Hamzah yang berasal dari kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi.
“Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus”
Masih tentang sajak yang sama, dalam pengantar buku ini, PT. Gaya Favorit Press sebagai penerbit menyatakan bahwa, “Sajak Amir Hamzah tersebut adalah salah satu luapan perasaannya ketika hubungannya dengan kekasih tercinta harus putus di tengah jalan, karena penyair asal Langkat ini dijodohkan dengan putri pamannya.”
Permainan simbol yang terbuka dan multitafsir memang menjadi sifat sebuah karya sastra, utamanya puisi. Namun, interpretasi umum seperti apa yang diungkapkan penerbit di atas, yang kerap menyempitkan pemaknaan sajak-sajak Amir Hamzah hanya pada persoalan putus cinta ini, menjadi titik kritik saya.
Jika Seno Gumira Ajidarma pada halaman belakang buku ini juga menyatakan bahwa sajak-sajak Amir adalah sajak-sajak patah hati, saya justru menemukan sosok Amir yang tak mudah kalah dalam duka patah hatinya. Kegundahan Amir dalam sajak-sajaknya semestinya tak melulu dapat diartikan sebagai ekspresi patah hatinya pada Ilik Sundari. Amir bukan orang cengeng. Meski ekspresi kesedihan serupa itu adalah manusiawi dan umum saja terjadi, namun, pembacaan saya akan sosok Amir Hamzah dalam buku ini membawa saya pada kesimpulan bahwa Amir Hamzah jelaslah bukan sekadar orang yang “umum”.
Nh. Dini bersama Tahura (berkerudung) di makam Tengku Amir Hamzah. Foto: Buku "Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang".
Di antara cinta pribadi dan kepentingan keluarga, adalah sudah menjadi marwah (kehormatan) para bangsawan Melayu sepertinya untuk lebih mementingkan yang kedua. Kehormatan adalah segalanya. Dengan fakta-fakta yang dirangkai secara naratif oleh Nh. Dini, saya semakin mendapati bahwa bangunan karakter kebangsawanan Amir Hamzah terlalu kokoh untuk dapat selalu terlarut dalam romantisme pribadinya.
Memang banyak sekali “gelombang dua berimbang” dalam hidup penyair ini. Banyak sekali suara-suara dua kutub dalam hatinya, yang kerap menjadi tema dasar dari karya-karya lirisnya. Namun, itu tak melulu soal cinta. Ada pula soal pergulatan politik yang tentunya turut menyita ruang pikir tokoh pergerakan ini.
Dalam tulisan terdahulu, saya menyebut Amir Hamzah sebagai “Sang Pangeran Yang Selalu Berada di Tengah”. Namun, setelah membaca buku ini, saya menjadi yakin bahwa Ku Busu (panggilan Amir Hamzah di keluarga) bukanlah peragu. Meski hidup kerap mengantarnya pada sekian banyak persimpangan, dengan sifat seorang bangsawan, ia selalu tahu bagaimana semestinya berposisi dan mengambil sikap.
Nh. Dini memang menuliskan kisah cinta Amir Hamzah yang belum pernah diungkap sebelumnya. Kisah kasih tak sampai antara sang pujangga bangsawan Melayu dan Ilik Sundari, sang dara asal Solo, terpapar lebar. Namun, pada buku yang terbagi dalam tiga belas bab ini, hanya ada dua bab yang secara eksplisit memaparkan kisah-kasih Amir Hamzah dengan Ilik Sundari, yakni pada bab “Masa Indah di AMS” dan “Cinta ‘Terlarang’ Amir dan Ilik Sundari”. Artinya, sudut pandang hubungan cinta romantik ini memang hanya menjadi satu dari sekian banyak sisi yang ingin dihamparkan oleh Nh. Dini.
Buku ini cukup berhasil menampilkan sosok Amir Hamzah selayaknya sebuah prisma kaca yang memiliki sekian banyak dimensi. Kesemua dimensi itu memantulkan cahaya kenangan yang dapat disublim menjadi perenungan bagi siapa pun yang membacanya. Dengan kekuatan deskripsi dan eksplorasi Nh. Dini yang nampak konsisten dari baris-baris pertama buku ini hingga kisah berujung, alur reflektif itu pun menjadi mudah untuk diikuti.
Kejelian paparan Nh. Dini diawali saat menggambarkan Langkat sebagai kesultanan yang tak hanya kaya sumber daya alam, namun juga memiliki harkat budaya.
”Semua ukiran di rumah Melayu berfungsi sebagai hiasan, sekaligus menjadi alat pengalir udara,” demikian gaya Nh. Dini menyatakan detail deskripsi.
Nh. Dini pun tak lupa mengenalkan beragam adat istiadat Melayu seperti tradisi melayah (menutup wajah perempuan hingga hanya tampak kedua matanya saja), makan sirih sekapur, nampan nipah, adat persaudaraan dalam kesatuan rumah Melayu, adat pernikahan, hingga tradisi penamaan anak.
Selain itu, ada pula disinggung beberapa sastra Melayu seperti Syair Bidasari, Dewa Mendu, Hikayat Hang Tuah, takat Hikayat Amir Hamzah yang kala itu masih dibaca dengan huruf Arab gundul; ketika ‘kambing’ dan ‘kembang’ ditulis dengan cara yang sama.
Ketika Nh. Dini memulai kisah Amir Hamzah yang kala itu ingin meninggalkan tanah airnya untuk bersekolah ke luar negeri, Jawa, dimana pada saat yang sama yang lain bersekolah ke negeri-negeri lain, ia kemudian memberi penekanan pada sebuah fakta sederhana, namun sering dilupakan akhir-akhir ini.
“Tanah air pada zaman itu adalah Langkat, adalah pulau Sumatera. Masing-masing daerah belum mempunyai kepentingan bersama. Pada masa itu, orang masih menamakan diri bangsa Batak, bangsa Minangkabau, bangsa Melayu, atau pun bangsa Jawa,” tutur Nh,. Dini yang tampak menyadari betul bahwa wajah keindonesiaan barulah ada sejak 1945.
Nh. Dini pun mengisahkan bahwa setibanya di Jawa, Amir langsung dapat menghirup udara yang lain sama sekali. Semua serba baru, serba misterius, namun sekaligus ramah dan menanti dipaparkan untuk dikenal. Segalanya ia lihat, alami, dan tanggapi, lalu ia cerna baik-baik. Amir pun menabung pengalaman hingga membentuknya sebagai pemuda yang kritis. Ditambah, lingkungan akademis di sekitarnya pun bernapaskan kehendak yang sama. Selanjutnya, Nh. Dini pun membawa pembaca untuk larut dalam romantika pergerakan Amir Hamzah.
Amir memasuki Jawa pada masa ketika kata ‘pemuda’ bersinonim dengan ‘pergerakan’. Di sana, ia turut meniupkan nafas perubahan.Di pulau itulah ia menjadi saksi akan nasib bangsa Jawa yang terjajah. Mata hatinya lebih jelas melihat kekurangan-kekurangan yang seharusnya bisa diubah. Kepekaan hati menyebabkan ia bersifat sosial tanpa perlu mempelajari lebih dulu apa itu sosialisme.
Amir pun kian mendewasa ketika nama Indonesia semakin marak digunakan untuk menggantikan nama Hindia Belanda. Sejarah nama Indonesia yang ‘dibuat’ oleh J.R. Logan di Indian Archipelago, lalu disusul oleh A. Bastian yang mempertanyakan nama Indonesia atau pulau-pulau di Kepulauan Melayu, dan para guru besar dari Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Hurgronje, dan Van Vollenhoven, turut terungkap selintas dalam buku ini. Perkataan ‘Indonesia’ yang semula hanya dikenal dalam kepustakaan etnologi kala itu digambarkan mulai naik sebagai sebentuk identitas kebangsaan.
Amir kemudian turut giat mempropagandakan konsep persatuan, sebuah cita-cita Indonesia Raya yang dianggap mampu mengatasi persoalan kolonialisme yang menimpa Jawa Raya. Ia begitu bersemangat membela nasib bangsa terjajah. Dia menggugat ketidaksamarataan yang disebabkan kurangnya penyebaran pendidikan rakyat.
Bersama kawan-kawannya, Amir menjadi motor penggerak penyatuan pemuda-pemuda Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Sumatera di Solo. Ialah yang turut menganjurkan kawan-kawannya untuk menyadari bahwa pada dasarnya mereka mempunyai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pada aspek bahasa, kiprah Amir pun teramat nyata. Ia mengaktifkan dan menegakkan kembali kepercayaan orang terhadap nilai serta keindahan bahasa Melayu melalui produktivitasnya yang tinggi di bidang sastra.
Pergerakan Amir di Pulau Jawa yang begitu aktif ternyata memancing kekhawatiran pamannya, Sultan Langkat. Dengan lemah lembut, Sultan berusaha mengingatkan Amir bahwa banyak kerajaan kecil yang lebih sukar untuk menyanggah kemauan Belanda. Pada banyak hal, bahkan terlalu banyak, kerajaan Langkat masih sangat tergantung kepada admnistrasi Belanda.
Tanpa perlu sultan bersusah payah meminta Amir untuk mengambil sikap tertentu, Amir langsung memahami apa maksud ucapan itu. Sebagai seorang pangeran kerajaan yang membawa marwah bangsa di dadanya, Amir pun mengucapkan tradisi adat yang lazim pada Sultan, “Sembah patik sembahkan, titah patik junjung.”
Sikap Amir yang kemudian mundur teratur dari pergerakan di Jawa pada 1937 hingga akhirnya  berujung pada kepatuhannya akan titah sang paman untuk menikah dan kembali ke Langkat pun dilakoni dengan kerelaan. Demi ucap janjinya pada kesultanan, ia telan segala kesedihan akibat perpisahannya dengan cita dan cintanya di negeri Jawa.
Catatan Nh. Dini pun menggambarkan peran baru Amir Hamzah sebagai sebaik-baiknya imam bagi keluarganya. Melalui wawancara Nh. Dini dengan Tahura, tergambar betul sosok Amir Hamzah sebagai ayah dan suami yang bertanggung jawab, melindungi, dan penuh kasih sayang sekaligus pula tegas.
Kalau hari petang
Langit terang
Aku terkenang
Binjei Langkat Hulu
Lahir di situ
Demikian dendang buaian sang ayah yang masih teringat jelas oleh Tahura. Tahura juga kerap mendengar dongeng hikayat-hikayat Melayu dikisahkan oleh ayahnya, semisal Hang Tuah, Putera Indra Bangsawan. Sementara, sang ibu lebih memilih cerita rakyat seperti Batu Belah atau Puteri Hijau.
“Kita harus berkelakukan lemah lembut kepada siapa pun,” begitu selalu pesan Amir pada Tahura.
Amir juga mengajarkan Tahura untuk selalu bersikap sederhana dalam segala hal. Semua harus sesuai dengan porsinya. Tahura tidak diperbolehkan menyisakan makanan dalam piringnya dan tidak diperbolehkan pula meminta tambah.
Tahura pun mengenang bagaimana sang ayah pernah menyuruhnya makan es krim dengan ikan sepat goreng sebagai sendoknya. Ia juga selalu ingat bahwa ayahnya selalu mengajarkan ia mandi dengan berdoa.
Pasca-Kelahiran Indonesia
Ketika proklamasi bangsa Indonesia berkumandang, Amir Hamzah, seperti kebanyakan rakyat Sumatera maupun pulau-pulau lainnya, belum mengetahui bahwa Negara Indonesia sudah berdiri. Ketika di Pulau Jawa terjadi kekacauan pada masa-masa peralihan pemerintahan, kehidupan di Langkat hampir tidak berbeda dari hari-hari lain. Sibuknya kepindahan Jepang  yang meninggalkan kota juga luput dari perhatian penduduk.
Sejumlah masyarakat di negeri Langkat. Foto: www.tengkuamirhamzah.com.
Oleh satu dan lain sebab yang tak diketahui atau memang dirahasiakan, gubernur Indonesia yang berwenang membawahi daerah Langkat baru mengumumkan pendirian Indonesia setelah dua bulan pasca-proklamasi. Dua bulan setelah proklamasi, baru Amir  diberitahu adanya surat keputusan Gubernur Negara Republik Indonesia Nomor 5 yang telah menunjuknya sebagai asisten residen atau bupati yang bertanggung jawab atas daerah Langkat dan berkedudukan di Binjai.
Penunjukkan dirinya sebagai bupati membuat Amir berpijak di dua kaki. Di satu sisi, sejak pulang ke Langkat dari negeri Jawa, ia sudah mengemban sejumlah jabatan negara. Ia menjadi Raja Muda atau Pangeran dengan wilayah tugas Langkat Hilir, lalu memimpin Teluk Haru di Pangkalan Brandan, dan kemudian sebagai bendahara Paduka Raja di Binjai. Saat Jepang datang, ia menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat. Di sisi lain, dari Indonesia, ia menjadi Bupati Langkat. Semua jabatan itu memiliki objek wilayah yang sama.
Di masa itu, Amir berusaha memulai pembangunan pertanian, kerajinan rakyat, dan pemberantasan buta huruf. Nh Dini menceritakan bahwa Amir Hamzah begitu bergirah mengerjakan itu semua.
Kehadiran Belanda yang turut bersama sekutu melalui Palang Merah kemudian menimbulkan banyak kekacauan di Jawa. November menjadi bulan penuh api. Hubungan Indonesia-Belanda-Inggris pun kian buruk ketika Belanda mendaratkan Angkatan Laut Kerajaannya di Tanjung Priok dan menguasai Batavia.
Belawan (Medan, Sumatera Utara kini) juga menjadi pintu terbuka bagi Angkatan Laut Sekutu. Kehadiran tentara sekutu pasca 29 September 1945 di bawah pimpinan Jenderal Christison di Medan membuat Langkat mulai bergolak. Golongan demi golongan bertumbuhan mengukuhi pendapat dan idealisme masing-masing. Titik ini menjadi pangkal tolak ketajaman indra politik beberapa orang.
Jika dahulu Amir Hamzah melakukan pergerakan untuk memandang serentak pada konsep persatuan, kini pertimbangan demi kepentingan golongan dan partai mulai merebak. Rakyat Langkat, utamanya buruh-buruh, yang kebanyakan berasal dari India, Jawa, dan China, yang kebanyakan buta politik, pun mulai dipanas-panasi. Mereka digiring untuk menggugat pemerintahan di kota maupun di pedalaman. Konon, yang paling kuat dan terpandai dalam menggalang penduduk semacam itu adalah pihak yang disebut ‘golongan kiri’ yang berpusat di Jawa.
“Tuhan menjadikan manusia tidak semuanya sama. Sebagai contoh, ialah pepohonan di muka bumi ini, ada yang rendah ada yang tinggi, walaupun usianya sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini, berlawananlah dengan kodrat Tuhan,” ujar Amir selaku bupati pada suatu rapat yang diadakan di Kebon Lada.
Akan tetapi, pernyataan Amir ini menimbulkan interpretasi sendiri di banyak pihak. Konon, inilah yang membuat dirinya dimasukkan ke dalam “daftar hitam” kelompok pemuda kala itu. Muncul kasak kusuk bahwa Amir pernah turut makan-makan di kapal dengan sekutu.
“Bagaimana pula dia duduk makan bersama musuh… Di waktu dia terpaksa menyuguhi makan seorang pejabat atau perwira musuh, dia selalu menyuruh masak bangkai-bangkai ayam! Katanya, sayang menyembelih ayam sehat untuk dihidangkan kepada musuh. Ah, tidak akan dia sudi datang ke kapal, lalu duduk makan bersama mereka,” bantah Kamaliah.
Menghadapi segala serangan fitnah, Amir tak pernah sekali pun nampak gentar menghadapi nasib buruk yang mengintainya.
“Hanya satu permintaan kanda kepada dinda, Uyah. Apapun yang terjadi dengan kakanda, janganlah adinda kelak mendendam kepada orang-orang tertentu. Karena semua kejadian adalah takdir Tuhan. Jaga dan asuhlah anak kita sebaik-baiknya,” demikian pesan Amir kepada sang istri.
Dalam tarikan lokal (Langkat) dengan supralokal (Indonesia), buku ini menunjukkan bahwa Amir Hamzah secara ajeg berpijak pada Langkat dengan kesadaran dan keberanian penuh. Amir tak pernah membantah sekali pun sumpah setianya pada raja untuk berpihak pada Langkat.
Kesetiaan Amir ini berujung pada suatu subuh di perladangan Kuala Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan Langkat itu. Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.
“Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang bersiap-siap akan menghadap Tuhan,” begitulah penyair masyhur ini menuturkan kalimat terakhirnya.
20 Maret 1946, parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Langkat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Dan jasad Amir pun ditumpuk dengan jenazah ke-26 tengku lainnya.
.
Kedatangan ajal yang secepat itu membuat Amir tidak dapat melihat bagaimana negara yang dicita-citakannya dahulu kemudian bertumbuh menjadi Republik Indonesia Serikat untuk kemudian berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia juga tak melihat bahwa kemudian ada daerah yang diistimewakan dan ada yang tidak. Hanya 35 tahun Amir Hamzah menjalani hidupnya. Namun, 35 tahun itu ternyata cukup untuk menggaungkan gema juang yang bertalu dalam setiap hati yang mengenangnya.
Cara Nh. Dini mengisahkan Amir Hamzah sebagai tokoh kunci pada sejarah kelahiran Indonesia ini membuat saya mengamini pendapat Ayu Utami, bahwa membaca buku ini bagai menonton sebuah film. Biografi ini sungguhlah dapat menjadi media penutur sejarah tanding.
Namun, pengungkapan fakta sejarah baru mengenai Revolusi Sosial di Maret 1946 hingga saat ini memang masih tampak sumir. Nh. Dini pun menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hingga pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini tidak mau mengakui sebutan nama ‘revolusi sosial’ yang telah merebut nyawa Amir Hamzah kala itu.
Tak pernah digelar peradilan akan peristiwa berdarah itu. Kemenakan Amir hingga kini pun tidak pernah mau menyebutkan nama siapa para pemuda yang sesungguhnya terlibat dalam kematian Amir.
“Barangkali karena memang dia tidak mengetahui. Ataukah karena para pemuda tersebut kemudian menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, sehingga pembongkaran cerita akan menyebabkan mereka tergugat?” demikian tanya Nh. Dini dalam buku ini.
Buku ini adalah pelecut upaya menyigi jawaban atas apa yang masih tak terungkap dalam sejarah bangunan fondasi Indonesia yang kelam. Sejarah ketika keluarga kerajaan menjadi sasaran laskar-laskar yang terprovokasi ideologi antarkelas. Inilah wajah ketika akar-akar tercerabut secara paksa. Suatu kala ketika makna noblesse oblige tak lagi menjadi harapan.
Ketokohan Amir Hamzah ini memang mengikat ingat saya pada frase bahasa Perancis, ‘noblesse oblige’. Dalam pemaknaan etimologisnya, frase itu menyuratkan arti bahwa status sosial yang tinggi akan selalu diiringi oleh kewajiban dengan konsekuensi risiko yang tak kalah tinggi. Sejarah telah mencatat, untuk seorang Tengku Amir Hamzah, bangsawan Melayu dari negeri Langkat, konsekuensi itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia difitnah dan dibunuh hanya karena ia adalah seorang Tengku. Dan ia memilih mati karena itu, betapapun ia punya pilihan untuk pergi ke tempat lain seperti Binjai atau Jepang.
Tengku Amir Hamzah, yang menyadari posisinya sebagai bangsawan, telah sekuat-kuatnya berupaya mengabdikan kekuasaannya untuk berpihak pada yang tak berdaya. Ia meresapi, bahwa dengan berkedudukan lebih tinggi, maka tak ada kewajiban lain selain mengabdi pada nadi negeri. Dalam manifestasinya, Amir pun tampil dengan pilihan-pilihan hidup yang berani, bahkan keji, terhadap dirinya sendiri.
Lesatan zaman kekinian pun kemudian seakan mengajak memutar. Dalam sistem yang dahulu menumbangkan apa yang disebut feodalisme, pola kekuasaan sentralisme Indonesia kini justru semakin seru mendenguskan kembali hasrat-hasrat feodalisme. Jabatan-jabatan elitis kini menjadi rebutan. Bapak pejabat, anak pejabat, lingkarannya pun mendapat rezeki berlimpah. Bahkan, pernikahan pangeran Inggris, Pangeran William dan Kate Middleton pada 29 April 2011, yang jelas-jelas termuat dalam definisi feodalisme, oleh televisi-televisi Jakarta yang bersiaran nasional justru turut dirayakan dengan melakukan siaran langsung seharian dan juga pada hari-hari berikutnya. Ada program khusus yang bahkan dibuat hanya untuk memelototi detail busana sang pengantin.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis PaEni, pernah mengatakan bahwa ada kekecewaan yang teramat besar di negara Indonesia kini. Jika dahulu feodalisme dikecam, wajah Indonesia kini justru menampilkan wajah tersebut.
“Setelah menjadi satu negara, mereka menjadi kecewa, kecewa menjadi supernasionalis, kecewa menjadi seorang yang menyerahkan mentah-mentah identitas lokalnya itu kepada negara ini. Apa yang membuat mereka kecewa? Ternyata feodalisme, kebangsawanan, kebarat-baratan, bukan pada gelar, bukan pada harta, tetapi pada perangai orang per orang. Begitu dia (orang lain) menjadi pejabat di negara republik ini, dia lebih feodal,” tukas PaEni sebagaimana tertulis di LenteraTimur.com (6/6).
Cekokan kisah yang menyimpan propaganda tertentu atas nafsu kekuasaan secara diam-diam kerap menjebak kita pada lubang yang sama. Kegelisahan Amir Hamzah akan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu ternyata kini masih kita rasakan jua. Di tengah bisingnya kabar-kabar ketidakadilan yang menjadi santapan setiap hari, pembacaan kembali atas sosoknya dalam biografi ini kiranya dapat menjadi semacam “Buah Rindu” akan “Nyanyi Sunyi” sang pangeran, Tuanku Tengku Amir Hamzah.
Ku Busu yang Bukan Peragu, 4.7 out of 5 based on 3 ratings

Bukti Kesultanan Langkat

Bukti Kesultanan Langkat

Kesultanan Langkat merupakan kerajaan Melayu yang dulu memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatra Utara sekarang ini. Sampai dengan awal abad ke 19, kesultanan ini masih berada di bawah kuasa kesultanan Aceh (Sultan Iskandar Muda). Menurunnya kekuatan kesultanan Aceh yang berperang dengan Belanda yg mempunyai senjata lebih modern dipergunakan oleh Raja Langkat untuk menjadikan Langkat sebagai daerah yang merdeka. Pada tahun 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877. Sewaktu masa kolonial dulu, ada beberapa komoditi yang menghasilkan banyak pemasukan bagi Sultan Langkat yaitu antara lain: Karet, Kelapa sawit, Kopi dan Minyak.
Usaha Perkebunan orang Eropa tidak hanya banyak di daerah Deli, mereka juga merambah ke daerah Sumatra timur lainnya termasuk daerah Langkat. Pada periode tahun 1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama (kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di Pangkalan Brandan menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat.
Gambar diatas ialah Istana kesultanan Langkat di Tanjung pura yang pernah dijarah oleh rakyat sewaktu berkecamuk revolusi sosial (1945-1946) di Sumatra timur. Pada tahun 1946 keadaan suhu politik di Sumatra timur sempat memanas, orang-orang Komunis mulai menguasai partai politik dan juga membentuk laskar bersenjata diantaranya Laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Laskar Buruh. Secara sembunyi kaum komunis sudah mempersiapkan rencana untuk menghapuskan monarki kerajaan Melayu dan ingin mengambil alih pemerintahan kerajaan. Mereka kemudian membuat propaganda di koran-koran, radio dan pamflet serta isu-isu fitnah palsu untuk menghasut rakyat. Kaum komunis menghembuskan isu bahwa Raja-Raja Melayu itu sudah bekerjasama dengan Belanda dan mereka adalah kaum Feodal yang memeras dan menindas rakyat.
Tanpa diduga pada tanggal 3 Maret 1946, tepat jam 12 malam secara serentak rakyat dipimpin oleh orang-orang komunis dan Pesindo menyerbu istana dan kantor kerajaan Melayu dan mengumumkan bahwa kerajaan Melayu telah dihapuskan oleh rakyat Indonesia. Mulailah rumah dan istana-istana kerajaan diserang, dijarah hartanya, Raja, atau Sultan beserta para bangsawan juga pegawai kerajaan ditangkap dan sebagian dibunuh di tengah hutan atau dibenamkan di laut. Sultan Deli di Medan minta perlindungan dari British Indian Forces, Istana Maimun dikepung dan keluarga Sultan sempat melarikan diri berenang ke hutan untuk bersembunyi. Istana Maimun menjadi sasaran mereka, siang dan malam mereka menembaki istana. Sultan Deli kemudian mengungsi dengan keluarganya ke Perak (Malaysia).
Di tempat lain, istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura maupun yang di kota Binjei diserbu dan dirampok. Para bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah juga puteri-puteri Sultan Langkat diperkosa di depan mata beliau. Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya. Di kesultanan Serdang, karena Sultan Sulaiman Shariful Alamshah sejak dahulu terkenal anti-kolonialisme Belanda dan juga banyak keluarga kesultanan yang duduk di dalam partai politik dan menjadi TNI, kaum komunis hanya dapat mengerahkan rakyat untuk berbaris demonstrasi meminta agar kerajaan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan lokal kepada pemerintah R.I.
Demikian sekilas tentang revolusi sosial yang dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu.