Amir Hamzah (lukisan pena Dede E. Supria). Gambar: Buku "Amir Hamzah Pangeran dari Seberang".
“Raja telah jatuh, rakyat berkuasa! Raja telah jatuh, rakyat berkuasa!”
“Rakyat menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan kaum bangsawan!”
4 Maret 1946, seruan-seruan itu terdengar riuh di Istana Binjai. Kala
itu, sekelompok pemuda menyeruak masuk ke halaman istana. Mereka
menuntut agar bendera kerajaan yang bersanding dengan bendera merah
putih, diturunkan. Lagu “Darah Rakyat” berkumandang. Suara para pemuda
itu membahana. Senja koyak.
Tengku Amir Hamzah, Bupati Binjai dari Indonesia yang juga menantu
Sultan Langkat sekaligus petinggi negara Langkat, membiarkan barisan
“wakil rakyat” merusak ruangan istana kerajaan. Meski terjadi kerusakan,
hari itu tidak ada penganiayaan.
Sehari sebelumnya, kerusuhan memang sudah meledak di Langkat. Sejak
hari itulah, banyak bangsawan yang ditangkap. Satu per satu dari mereka
yang bergelar tengku menghilang. Amir Hamzah pun pada akhirnya dijemput
oleh sekelompok pemuda pada 7 Maret 1946, meski versi lain menyebutkan
tanggal 4.
“Tinggallah buah hati
Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya.
Sedari kecil, Tahura, anak Amir Hamzah satu-satunya ini, memang
menerima panggilan ‘Kuyung’ (sulung) dari sang ayah. Amir pun mengecup
kening Tahura sebelum masuk ke dalam mobil yang bergerak cepat menuju
markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Sejak saat itu, Tengku Amir Hamzah tak pernah kembali.
***
Kilasan kisah di atas terungkap dalam buku
Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang
karya Nh. Dini. Berbekal ketakzimannya pada sosok Amir, Nh. Dini, yang
juga seorang penulis sastra terkenal, menjadi perintis penelitian
panjang akan penulisan biografi Amir Hamzah.
Pada 1972, kisah hidup Amir Hamzah yang disusun Nh, Dini ini dipublikasikan dalam bentuk kisah bersambung di majalah
Femina. Rangkaian fakta ini kemudian baru dibukukan pada 1981.
Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk merayakan 100 tahun
kelahiran seseorang penyair besar, yang jatuh pada 2011, selain
merayakannya dengan buku. Karena itu, tiga puluh tahun berjarak waktu
dari penerbitan perdananya, biografi setebal 180 halaman ini diterbitkan
kembali pada 2011 untuk memperingati satu abad kelahiran Amir Hamzah.
Jika penulisan biografi yang kini membanjiri toko buku kerap ditulis
berdasar pesanan sang tokoh sendiri, maka biografi Amir Hamzah ini
menawarkan sesuatu yang berbeda. Banyak biografi di masa kini yang
miskin riset. Sebaliknya, Nh. Dini menjelajahi setiap jengkal kehidupan
Amir Hamzah dengan berupaya mengakses sebanyak mungkin informasi.
Pengumpulan data demi data oleh Nh. Dini akhirnya memang berbuah
karya yang berhasil memotret kisah hidup sang pangeran dari berbagai
sudut. Semua data wawancara diramu dengan kemampuan daya papar dan daya
ungkap Nh. Dini yang matang. Metafora, analogi, dan diksi yang menjalin
fakta-fakta dipadu dalam satu masa lampau yang dramatik. Tak hanya
halaman-halaman teks, buku ini pun diperkaya dengan jepretan foto masa
silam.
Nh. Dini juga tak segan mengungkap hal-hal paling pribadi dari
kehidupan Amir Hamzah yang membuat buku ini menjadi menarik untuk
dibaca. Larik-larik sajak karya Amir Hamzah juga turut disisipkan guna
kian mengakrabkan sosok bangsawan Melayu asal kawasan Sumatera Timur ini
pada pembacanya.
Wajah tampan Tengku Amir Hamzah yang nampak gagah dalam pakaian adat
Kesultanan Langkat
nampak di sampul depan buku ini. Foto itu diambil pada hari
pernikahannya dengan ‘Uyah’, panggilan kesayangan Amir Hamzah untuk
istrinya, Tengku Kamaliah. Di samping foto itu, tercetak pula satu sajak
Amir Hamzah yang berasal dari kumpulan puisinya,
Nyanyi Sunyi.
“Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus”
Masih tentang sajak yang sama, dalam pengantar buku ini, PT. Gaya
Favorit Press sebagai penerbit menyatakan bahwa, “Sajak Amir Hamzah
tersebut adalah salah satu luapan perasaannya ketika hubungannya dengan
kekasih tercinta harus putus di tengah jalan, karena penyair asal
Langkat ini dijodohkan dengan putri pamannya.”
Permainan simbol yang terbuka dan multitafsir memang menjadi sifat
sebuah karya sastra, utamanya puisi. Namun, interpretasi umum seperti
apa yang diungkapkan penerbit di atas, yang kerap menyempitkan pemaknaan
sajak-sajak Amir Hamzah hanya pada persoalan putus cinta ini, menjadi
titik kritik saya.
Jika Seno Gumira Ajidarma pada halaman belakang buku ini juga
menyatakan bahwa sajak-sajak Amir adalah sajak-sajak patah hati, saya
justru menemukan sosok Amir yang tak mudah kalah dalam duka patah
hatinya. Kegundahan Amir dalam sajak-sajaknya semestinya tak melulu
dapat diartikan sebagai ekspresi patah hatinya pada Ilik Sundari. Amir
bukan orang cengeng. Meski ekspresi kesedihan serupa itu adalah
manusiawi dan umum saja terjadi, namun, pembacaan saya akan sosok Amir
Hamzah dalam buku ini membawa saya pada kesimpulan bahwa Amir Hamzah
jelaslah bukan sekadar orang yang “umum”.
Nh. Dini bersama Tahura (berkerudung) di makam Tengku Amir Hamzah. Foto: Buku "Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang".
Di antara cinta pribadi dan kepentingan keluarga, adalah sudah
menjadi marwah (kehormatan) para bangsawan Melayu sepertinya untuk lebih
mementingkan yang kedua. Kehormatan adalah segalanya. Dengan
fakta-fakta yang dirangkai secara naratif oleh Nh. Dini, saya semakin
mendapati bahwa bangunan karakter kebangsawanan Amir Hamzah terlalu
kokoh untuk dapat selalu terlarut dalam romantisme pribadinya.
Memang banyak sekali “gelombang dua berimbang” dalam hidup penyair
ini. Banyak sekali suara-suara dua kutub dalam hatinya, yang kerap
menjadi tema dasar dari karya-karya lirisnya. Namun, itu tak melulu soal
cinta. Ada pula soal pergulatan politik yang tentunya turut menyita
ruang pikir tokoh pergerakan ini.
Dalam tulisan terdahulu, saya menyebut Amir Hamzah sebagai “
Sang Pangeran Yang Selalu Berada di Tengah”.
Namun, setelah membaca buku ini, saya menjadi yakin bahwa Ku Busu
(panggilan Amir Hamzah di keluarga) bukanlah peragu. Meski hidup kerap
mengantarnya pada sekian banyak persimpangan, dengan sifat seorang
bangsawan, ia selalu tahu bagaimana semestinya berposisi dan mengambil
sikap.
Nh. Dini memang menuliskan kisah cinta Amir Hamzah yang belum pernah
diungkap sebelumnya. Kisah kasih tak sampai antara sang pujangga
bangsawan Melayu dan Ilik Sundari, sang dara asal Solo, terpapar lebar.
Namun, pada buku yang terbagi dalam tiga belas bab ini, hanya ada dua
bab yang secara eksplisit memaparkan kisah-kasih Amir Hamzah dengan Ilik
Sundari, yakni pada bab “Masa Indah di AMS” dan “Cinta ‘Terlarang’ Amir
dan Ilik Sundari”. Artinya, sudut pandang hubungan cinta romantik ini
memang hanya menjadi satu dari sekian banyak sisi yang ingin dihamparkan
oleh Nh. Dini.
Buku ini cukup berhasil menampilkan sosok Amir Hamzah selayaknya
sebuah prisma kaca yang memiliki sekian banyak dimensi. Kesemua dimensi
itu memantulkan cahaya kenangan yang dapat disublim menjadi perenungan
bagi siapa pun yang membacanya. Dengan kekuatan deskripsi dan eksplorasi
Nh. Dini yang nampak konsisten dari baris-baris pertama buku ini hingga
kisah berujung, alur reflektif itu pun menjadi mudah untuk diikuti.
Kejelian paparan Nh. Dini diawali saat menggambarkan Langkat sebagai
kesultanan yang tak hanya kaya sumber daya alam, namun juga memiliki
harkat budaya.
”Semua ukiran di rumah Melayu berfungsi sebagai hiasan, sekaligus
menjadi alat pengalir udara,” demikian gaya Nh. Dini menyatakan detail
deskripsi.
Nh. Dini pun tak lupa mengenalkan beragam adat istiadat Melayu
seperti tradisi melayah (menutup wajah perempuan hingga hanya tampak
kedua matanya saja), makan sirih sekapur, nampan nipah, adat
persaudaraan dalam kesatuan rumah Melayu, adat pernikahan, hingga
tradisi penamaan anak.
Selain itu, ada pula disinggung beberapa sastra Melayu seperti
Syair Bidasari,
Dewa Mendu,
Hikayat Hang Tuah, takat
Hikayat Amir Hamzah yang kala itu masih dibaca dengan huruf Arab gundul; ketika ‘kambing’ dan ‘kembang’ ditulis dengan cara yang sama.
Ketika Nh. Dini memulai kisah Amir Hamzah yang kala itu ingin
meninggalkan tanah airnya untuk bersekolah ke luar negeri, Jawa, dimana
pada saat yang sama yang lain bersekolah ke negeri-negeri lain, ia
kemudian memberi penekanan pada sebuah fakta sederhana, namun sering
dilupakan akhir-akhir ini.
“Tanah air pada zaman itu adalah Langkat, adalah pulau Sumatera.
Masing-masing daerah belum mempunyai kepentingan bersama. Pada masa itu,
orang masih menamakan diri bangsa Batak, bangsa Minangkabau, bangsa
Melayu, atau pun bangsa Jawa,” tutur Nh,. Dini yang tampak menyadari
betul bahwa wajah keindonesiaan barulah ada sejak 1945.
Nh. Dini pun mengisahkan bahwa setibanya di Jawa, Amir langsung dapat
menghirup udara yang lain sama sekali. Semua serba baru, serba
misterius, namun sekaligus ramah dan menanti dipaparkan untuk dikenal.
Segalanya ia lihat, alami, dan tanggapi, lalu ia cerna baik-baik. Amir
pun menabung pengalaman hingga membentuknya sebagai pemuda yang kritis.
Ditambah, lingkungan akademis di sekitarnya pun bernapaskan kehendak
yang sama. Selanjutnya, Nh. Dini pun membawa pembaca untuk larut dalam
romantika pergerakan Amir Hamzah.
Amir memasuki Jawa pada masa ketika kata ‘pemuda’ bersinonim dengan
‘pergerakan’. Di sana, ia turut meniupkan nafas perubahan.Di pulau
itulah ia menjadi saksi akan nasib bangsa Jawa yang terjajah. Mata
hatinya lebih jelas melihat kekurangan-kekurangan yang seharusnya bisa
diubah. Kepekaan hati menyebabkan ia bersifat sosial tanpa perlu
mempelajari lebih dulu apa itu sosialisme.
Amir pun kian mendewasa ketika nama Indonesia semakin marak digunakan
untuk menggantikan nama Hindia Belanda. Sejarah nama Indonesia yang
‘dibuat’ oleh
J.R. Logan
di Indian Archipelago, lalu disusul oleh A. Bastian yang mempertanyakan
nama Indonesia atau pulau-pulau di Kepulauan Melayu, dan para guru
besar dari Leiden seperti R.A. Kern, Snouck Hurgronje, dan Van
Vollenhoven, turut terungkap selintas dalam buku ini. Perkataan
‘Indonesia’ yang semula hanya dikenal dalam kepustakaan etnologi kala
itu digambarkan mulai naik sebagai sebentuk identitas kebangsaan.
Amir kemudian turut giat mempropagandakan konsep persatuan, sebuah
cita-cita Indonesia Raya yang dianggap mampu mengatasi persoalan
kolonialisme yang menimpa Jawa Raya. Ia begitu bersemangat membela nasib
bangsa terjajah. Dia menggugat ketidaksamarataan yang disebabkan
kurangnya penyebaran pendidikan rakyat.
Bersama kawan-kawannya, Amir menjadi motor penggerak penyatuan
pemuda-pemuda Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Sumatera di Solo. Ialah yang
turut menganjurkan kawan-kawannya untuk menyadari bahwa pada dasarnya
mereka mempunyai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pada
aspek bahasa, kiprah Amir pun teramat nyata. Ia mengaktifkan dan
menegakkan kembali kepercayaan orang terhadap nilai serta keindahan
bahasa Melayu melalui produktivitasnya yang tinggi di bidang sastra.
Pergerakan Amir di Pulau Jawa yang begitu aktif ternyata memancing
kekhawatiran pamannya, Sultan Langkat. Dengan lemah lembut, Sultan
berusaha mengingatkan Amir bahwa banyak kerajaan kecil yang lebih sukar
untuk menyanggah kemauan Belanda. Pada banyak hal, bahkan terlalu
banyak, kerajaan Langkat masih sangat tergantung kepada admnistrasi
Belanda.
Tanpa perlu sultan bersusah payah meminta Amir untuk mengambil sikap
tertentu, Amir langsung memahami apa maksud ucapan itu. Sebagai seorang
pangeran kerajaan yang membawa marwah bangsa di dadanya, Amir pun
mengucapkan tradisi adat yang lazim pada Sultan, “Sembah patik
sembahkan, titah patik junjung.”
Sikap Amir yang kemudian mundur teratur dari pergerakan di Jawa pada
1937 hingga akhirnya berujung pada kepatuhannya akan titah sang paman
untuk menikah dan kembali ke Langkat pun dilakoni dengan kerelaan. Demi
ucap janjinya pada kesultanan, ia telan segala kesedihan akibat
perpisahannya dengan cita dan cintanya di negeri Jawa.
Catatan Nh. Dini pun menggambarkan peran baru Amir Hamzah sebagai
sebaik-baiknya imam bagi keluarganya. Melalui wawancara Nh. Dini dengan
Tahura, tergambar betul sosok Amir Hamzah sebagai ayah dan suami yang
bertanggung jawab, melindungi, dan penuh kasih sayang sekaligus pula
tegas.
“
Kalau hari petang
Langit terang
Aku terkenang
Binjei Langkat Hulu
Lahir di situ”
Demikian dendang buaian sang ayah yang masih teringat jelas oleh
Tahura. Tahura juga kerap mendengar dongeng hikayat-hikayat Melayu
dikisahkan oleh ayahnya, semisal Hang Tuah, Putera Indra Bangsawan.
Sementara, sang ibu lebih memilih cerita rakyat seperti Batu Belah atau
Puteri Hijau.
“Kita harus berkelakukan lemah lembut kepada siapa pun,” begitu selalu pesan Amir pada Tahura.
Amir juga mengajarkan Tahura untuk selalu bersikap sederhana dalam
segala hal. Semua harus sesuai dengan porsinya. Tahura tidak
diperbolehkan menyisakan makanan dalam piringnya dan tidak diperbolehkan
pula meminta tambah.
Tahura pun mengenang bagaimana sang ayah pernah menyuruhnya makan es
krim dengan ikan sepat goreng sebagai sendoknya. Ia juga selalu ingat
bahwa ayahnya selalu mengajarkan ia mandi dengan berdoa.
Pasca-Kelahiran Indonesia
Ketika proklamasi bangsa Indonesia berkumandang, Amir Hamzah, seperti
kebanyakan rakyat Sumatera maupun pulau-pulau lainnya, belum mengetahui
bahwa Negara Indonesia sudah berdiri. Ketika di Pulau Jawa terjadi
kekacauan pada masa-masa peralihan pemerintahan, kehidupan di Langkat
hampir tidak berbeda dari hari-hari lain. Sibuknya kepindahan Jepang
yang meninggalkan kota juga luput dari perhatian penduduk.
Sejumlah masyarakat di negeri Langkat. Foto: www.tengkuamirhamzah.com.
Oleh satu dan lain sebab yang tak diketahui atau memang dirahasiakan,
gubernur Indonesia yang berwenang membawahi daerah Langkat baru
mengumumkan pendirian Indonesia setelah dua bulan pasca-proklamasi. Dua
bulan setelah proklamasi, baru Amir diberitahu adanya surat keputusan
Gubernur Negara Republik Indonesia Nomor 5 yang telah menunjuknya
sebagai asisten residen atau bupati yang bertanggung jawab atas daerah
Langkat dan berkedudukan di Binjai.
Penunjukkan dirinya sebagai bupati membuat Amir berpijak di dua kaki.
Di satu sisi, sejak pulang ke Langkat dari negeri Jawa, ia sudah
mengemban sejumlah jabatan negara. Ia menjadi Raja Muda atau Pangeran
dengan wilayah tugas Langkat Hilir, lalu memimpin Teluk Haru di
Pangkalan Brandan, dan kemudian sebagai bendahara Paduka Raja di Binjai.
Saat Jepang datang, ia menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan
Langkat. Di sisi lain, dari Indonesia, ia menjadi Bupati Langkat. Semua
jabatan itu memiliki objek wilayah yang sama.
Di masa itu, Amir berusaha memulai pembangunan pertanian, kerajinan
rakyat, dan pemberantasan buta huruf. Nh Dini menceritakan bahwa Amir
Hamzah begitu bergirah mengerjakan itu semua.
Kehadiran Belanda yang turut bersama sekutu melalui Palang Merah
kemudian menimbulkan banyak kekacauan di Jawa. November menjadi bulan
penuh api. Hubungan Indonesia-Belanda-Inggris pun kian buruk ketika
Belanda mendaratkan Angkatan Laut Kerajaannya di Tanjung Priok dan
menguasai Batavia.
Belawan (Medan, Sumatera Utara kini) juga menjadi pintu terbuka bagi
Angkatan Laut Sekutu. Kehadiran tentara sekutu pasca 29 September 1945
di bawah pimpinan Jenderal Christison di Medan membuat Langkat mulai
bergolak. Golongan demi golongan bertumbuhan mengukuhi pendapat dan
idealisme masing-masing. Titik ini menjadi pangkal tolak ketajaman indra
politik beberapa orang.
Jika dahulu Amir Hamzah melakukan pergerakan untuk memandang serentak
pada konsep persatuan, kini pertimbangan demi kepentingan golongan dan
partai mulai merebak. Rakyat Langkat, utamanya buruh-buruh, yang
kebanyakan berasal dari India, Jawa, dan China, yang kebanyakan buta
politik, pun mulai dipanas-panasi. Mereka digiring untuk menggugat
pemerintahan di kota maupun di pedalaman. Konon, yang paling kuat dan
terpandai dalam menggalang penduduk semacam itu adalah pihak yang
disebut ‘golongan kiri’ yang berpusat di Jawa.
“Tuhan menjadikan manusia tidak semuanya sama. Sebagai contoh, ialah
pepohonan di muka bumi ini, ada yang rendah ada yang tinggi, walaupun
usianya sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini,
berlawananlah dengan kodrat Tuhan,” ujar Amir selaku bupati pada suatu
rapat yang diadakan di Kebon Lada.
Akan tetapi, pernyataan Amir ini menimbulkan interpretasi sendiri di
banyak pihak. Konon, inilah yang membuat dirinya dimasukkan ke dalam
“daftar hitam” kelompok pemuda kala itu. Muncul kasak kusuk bahwa Amir
pernah turut makan-makan di kapal dengan sekutu.
“Bagaimana pula dia duduk makan bersama musuh… Di waktu dia terpaksa
menyuguhi makan seorang pejabat atau perwira musuh, dia selalu menyuruh
masak bangkai-bangkai ayam! Katanya, sayang menyembelih ayam sehat untuk
dihidangkan kepada musuh. Ah, tidak akan dia sudi datang ke kapal, lalu
duduk makan bersama mereka,” bantah Kamaliah.
Menghadapi segala serangan fitnah, Amir tak pernah sekali pun nampak gentar menghadapi nasib buruk yang mengintainya.
“Hanya satu permintaan kanda kepada dinda, Uyah. Apapun yang terjadi
dengan kakanda, janganlah adinda kelak mendendam kepada orang-orang
tertentu. Karena semua kejadian adalah takdir Tuhan. Jaga dan asuhlah
anak kita sebaik-baiknya,” demikian pesan Amir kepada sang istri.
Dalam tarikan lokal (Langkat) dengan supralokal (Indonesia), buku ini
menunjukkan bahwa Amir Hamzah secara ajeg berpijak pada Langkat dengan
kesadaran dan keberanian penuh. Amir tak pernah membantah sekali pun
sumpah setianya pada raja untuk berpihak pada Langkat.
Kesetiaan Amir ini berujung pada suatu subuh di perladangan Kuala
Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan
penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan
Langkat itu. Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.
“Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang
bersiap-siap akan menghadap Tuhan,” begitulah penyair masyhur ini
menuturkan kalimat terakhirnya.
20 Maret 1946, parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah
mengabdikan diri di Istana Langkat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Dan
jasad Amir pun ditumpuk dengan jenazah ke-26 tengku lainnya.
Kedatangan ajal yang secepat itu membuat Amir tidak dapat melihat
bagaimana negara yang dicita-citakannya dahulu kemudian bertumbuh
menjadi
Republik Indonesia Serikat
untuk kemudian berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia
juga tak melihat bahwa kemudian ada daerah yang diistimewakan dan ada
yang tidak. Hanya 35 tahun Amir Hamzah menjalani hidupnya. Namun, 35
tahun itu ternyata cukup untuk menggaungkan gema juang yang bertalu
dalam setiap hati yang mengenangnya.
Cara Nh. Dini mengisahkan Amir Hamzah sebagai tokoh kunci pada
sejarah kelahiran Indonesia ini membuat saya mengamini pendapat Ayu
Utami, bahwa membaca buku ini bagai menonton sebuah film. Biografi ini
sungguhlah dapat menjadi media penutur sejarah tanding.
Namun, pengungkapan fakta sejarah baru mengenai Revolusi Sosial di
Maret 1946 hingga saat ini memang masih tampak sumir. Nh. Dini pun
menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hingga pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga kini tidak mau mengakui sebutan nama ‘revolusi
sosial’ yang telah merebut nyawa Amir Hamzah kala itu.
Tak pernah digelar peradilan akan peristiwa berdarah itu. Kemenakan
Amir hingga kini pun tidak pernah mau menyebutkan nama siapa para pemuda
yang sesungguhnya terlibat dalam kematian Amir.
“Barangkali karena memang dia tidak mengetahui. Ataukah karena para
pemuda tersebut kemudian menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan,
sehingga pembongkaran cerita akan menyebabkan mereka tergugat?” demikian
tanya Nh. Dini dalam buku ini.
Buku ini adalah pelecut upaya menyigi jawaban atas apa yang masih tak
terungkap dalam sejarah bangunan fondasi Indonesia yang kelam. Sejarah
ketika keluarga kerajaan menjadi sasaran laskar-laskar yang terprovokasi
ideologi antarkelas. Inilah wajah ketika akar-akar tercerabut secara
paksa. Suatu kala ketika makna
noblesse oblige tak lagi menjadi harapan.
Ketokohan Amir Hamzah ini memang mengikat ingat saya pada frase bahasa Perancis, ‘
noblesse oblige’.
Dalam pemaknaan etimologisnya, frase itu menyuratkan arti bahwa status
sosial yang tinggi akan selalu diiringi oleh kewajiban dengan
konsekuensi risiko yang tak kalah tinggi. Sejarah telah mencatat, untuk
seorang Tengku Amir Hamzah, bangsawan Melayu dari negeri Langkat,
konsekuensi itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia difitnah dan
dibunuh hanya karena ia adalah seorang Tengku. Dan ia memilih mati
karena itu, betapapun ia punya pilihan untuk pergi ke tempat lain
seperti Binjai atau Jepang.
Tengku Amir Hamzah, yang menyadari posisinya sebagai bangsawan, telah
sekuat-kuatnya berupaya mengabdikan kekuasaannya untuk berpihak pada
yang tak berdaya. Ia meresapi, bahwa dengan berkedudukan lebih tinggi,
maka tak ada kewajiban lain selain mengabdi pada nadi negeri. Dalam
manifestasinya, Amir pun tampil dengan pilihan-pilihan hidup yang
berani, bahkan keji, terhadap dirinya sendiri.
Lesatan zaman kekinian pun kemudian seakan mengajak memutar. Dalam
sistem yang dahulu menumbangkan apa yang disebut feodalisme, pola
kekuasaan sentralisme Indonesia kini justru semakin seru mendenguskan
kembali hasrat-hasrat feodalisme. Jabatan-jabatan elitis kini menjadi
rebutan. Bapak pejabat, anak pejabat, lingkarannya pun mendapat rezeki
berlimpah. Bahkan, pernikahan pangeran Inggris, Pangeran William dan
Kate Middleton pada 29 April 2011, yang jelas-jelas termuat dalam
definisi feodalisme, oleh televisi-televisi Jakarta yang bersiaran
nasional justru turut dirayakan dengan melakukan siaran langsung
seharian dan juga pada hari-hari berikutnya. Ada program khusus yang
bahkan dibuat hanya untuk memelototi detail busana sang pengantin.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia,
Mukhlis PaEni,
pernah mengatakan bahwa ada kekecewaan yang teramat besar di negara
Indonesia kini. Jika dahulu feodalisme dikecam, wajah Indonesia kini
justru menampilkan wajah tersebut.
“Setelah menjadi satu negara, mereka menjadi kecewa, kecewa menjadi
supernasionalis, kecewa menjadi seorang yang menyerahkan mentah-mentah
identitas lokalnya itu kepada negara ini. Apa yang membuat mereka
kecewa? Ternyata feodalisme, kebangsawanan, kebarat-baratan, bukan pada
gelar, bukan pada harta, tetapi pada perangai orang per orang. Begitu
dia (orang lain) menjadi pejabat di negara republik ini, dia lebih
feodal,” tukas PaEni sebagaimana tertulis di
LenteraTimur.com (6/6).
Cekokan kisah yang menyimpan propaganda tertentu atas nafsu kekuasaan
secara diam-diam kerap menjebak kita pada lubang yang sama. Kegelisahan
Amir Hamzah akan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu ternyata kini
masih kita rasakan jua. Di tengah bisingnya kabar-kabar ketidakadilan
yang menjadi santapan setiap hari, pembacaan kembali atas sosoknya dalam
biografi ini kiranya dapat menjadi semacam “Buah Rindu” akan “Nyanyi
Sunyi” sang pangeran, Tuanku Tengku Amir Hamzah.
Ku Busu yang Bukan Peragu, 4.7 out of 5 based on 3 ratings